Senin, 19 November 2007

PIAGAM ASEAN = PIAGAM LIBERALISASI

Ekonomi Makro
Selasa, 20/11/2007
Piagam Asean = Piagam Liberalisasi?
Hari ini, 10 kepala negara dijadwalkan menandatangani Asean Charter (Piagam Asean) yang terdiri dari Preambule, 13 bab dan 55 pasal di Konferensi Tingkat Tinggi Asean ke-13 di Hotel Shangri-La, Singapura.

Seperti sudah menjadi kebiasaan dalam kerangka kerja sama Asean, apapun ditandatangani dulu, baik di tingkat Menteri maupun Kepala Negara, sedangkan kesiapan pelaksanaan masing-masing negara itu urusan belakang.

Sejatinya kerja sama ini mempunyai cita-cita tinggi. Namun, padatnya materi dengan waktu yang sempit, membuat pembahasan di dalam negeri masing-masing tidak solid dan seadanya. Padahal, piagam ini disebut-sebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat bagi pemangku kepentingan.

Target ditandatanganinya Piagam Asean (PA) ini agar negara di kawasan Asia Tenggara menjadi Masyarakat Asean pada 2015 seperti halnya Masyarakat Uni Eropa.

Pertemuan setingkat Kepala Negara pada awal 2007 di Cebu, menyepakati mempercepat menciptakan pasar tunggal di Asean sebagai salah satu blok perdagangan terbesar di dunia.

Penciptaan Asean menjadi pasar tunggal dan basis produksi yang kompetitif dan terintegrasi dengan memfasilitasi arus perdagangan, investasi, dan arus modal, yang lebih bebas tertuang dalam Bab 1 piagam itu.

Pasar tunggal dan basis produksi merupakan salah satu pilar penting dari Asean Economic Community (AEC) bagian aksi PA seakan menjadi 'ruh' kekuatan menuju liberalisasi pada 2015.

Beberapa hal kerja sama diklaim Pemerintah Indonesia cukup membanggakan. Pasalnya, pemerintah berhasil mencantumkan kepentingan nasional dalam PA tersebut a.l.:

  • Konsep regional resilience, comprehensive security, & kekuatan demokrasi.

  • Penekanan kedaulatan dan integritas teritorial serta tidak menggunakan wilayah Asean untuk upaya yang mengancam kedaulatan negara.

  • Pembentukan pasar tunggal dan basis produksi serta upaya memfasilitasi arus perdagangan, investasi, modal, pergerakan pelaku usaha dan tenaga kerja, serta mekanisme penyelesaian sengketa secara damai.

  • Diperkuatnya peran KTT dalam berbagai hal termasuk untuk memutuskan hal yang terkait dengan pelanggaran serius atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan dalam Piagam.

    Intisari Cetak Biru AEC sejatinya memuat kerangka dan elemen, rencana aksi dan target hingga 2015. Salah satu kerangka AEC memuat masing-masing elemen a.l. pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi yang kompetitif, pengembangan UKM dalam rangka integrasi, dan integrasi penuh menuju ekonomi global.

    Pengurangan tarif sampai dengan 2010, mengeliminasi hambatan non-tarif dalam tiga tahap (tahap I/2008, tahap II/2009 dan tahap final/2010), perbaikan rules of origin dan fasilitas perdagangan (seperti Asean Single Windows 2008) menjadi 'titah' dari semangat kelancaran arus barang.

    Sementara itu, semangat kelancaran arus investasi dalam Cetak Biru AEC adalah memfinalisasi Asean Investment Area pada 2008, dan liberalisasi (2008-2009) dengan target awal mengurangi restriksi investasi, hingga misi kerja sama investasi.

    Dalam AEC disebutkan pasar tunggal dan basis produksi ini dapat diwujudkan dengan terciptanya kelancaran arus modal dan liberalisasi keuangan.

    Implementasi cetak biru AEC tetap memerhatikan perbedaan pembangunan dan kesiapan anggota. Khusus Asean-4 (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) memperoleh fleksibilitas waktu pencapaian, sedangkan Indonesia bagian Asean-6 harus sesuai jadwal.

    Ironisnya, para menteri disebut-sebut juga relatif jarang membahasnya, yaitu sekali dalam Asean Economic Minister (AEM) dan materi disiapkan dalam dua-tiga kali pertemuan setingkat dirjen/senior (SEOM). Konon pertemuan tingkat senior itu pun disiapkan oleh Asean Secretariat dari hasil pertemuan Working Group.

    Piagam Liberalisasi

    Hal ini makin mengesankan bahwa dunia usaha terlebih lagi masyarakat nyaris tidak mengetahui kalau nasib mereka dipertaruhkan dalam Piagam 'Liberalisasi' Asean.

    Padahal, setelah Piagam Asean ini ditandatangani, pantang untuk mundur. Bila itu dilakukan tentu akan menurunkan kredibilitas. Kiranya, sudah saatnya pemerintah bersama stakeholders mengkaji implikasi kesepakatan Cetak Biru AEC terhadap kebijakan strategis dan peraturan perundangan terkait prioritas utama.

    Hal penting lainnya mengantisipasi dan persiapan penerapan fleksibilitas untuk sektor yang disepakati sebagai kategori sensitif dan menguasai hajat hidup orang banyak.

    "No question and no time untuk meributkan integrasi ekonomi Asean saat ini, yang harus disiapkan tindakan nyata Cetak Biru AEC setelah Piagam Asean ditandatangani," tegas Edy Putra Irawady, Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan.

    Adalah kewajiban pemerintah melaporkan pelaksanaannya setiap enam bulan setelah ditandatanganinya PA. Oleh sebab itu, pemerintah harus meningkatkan koordinasi dan mengoptimalkan peluang pasar dan investasi dari kerja sama kawasan ini.

    Bukan sebaliknya, menjadikan Indonesia sebagai tujuan pasar atau tempat mengeksploitasi sumber daya alam yang membuat industri nasional tersingkir dan tidak jadi pemain global. "Petani dan nelayan secara turun menurun hidup pasa-pasan dan angka kemiskinan meningkat," tambahnya.

    Semangat Preamble Asean Charter 'cukup mulia' yaitu memuat komitmen mewujudkan Komunitas Asean yang damai, aman, stabil dan sejahtera dengan target untuk generasi mendatang.

    Namun, ironisnya beberapa bulan sebelum Piagam Asean ini ditandatangani, Malaysia kian agresif mempatenkan berbagai produk asli putra bangsa seperti batik, angklung, bahkan mengklaim karya cipta lagu anak bangsa.

    Pertanyaannya, di mana penghargaan terhadap kedaulatan, persamaan, dan identitas nasional yang menjadi semangat prinsipal Bab I Piagam Asean itu.

    Pertanyaan berikutnya, bagaimana mungkin Thailand juga memberlakukan tarif bea masuk di atas 40% untuk kopi Indonesia misalnya. Padahal, dalam Bab I juga disebutkan penghormatan terhadap peraturan perdagangan Asean, serta penghapusan hambatan perdagangan yang menghambat integrasi ekonomi yang berorientasi pasar.

    Sementara itu, Indonesia terus melangkah maju. Di akhir Oktober, Menkeu Sri Mulyani Indrawati menghapus tarif bea masuk 1.165 produk dari berbagai sektor yang termasuk skema Common Effective Preferential Tariff for Asean Free Trade Area terhitung mundur 1 Januari 2007.

    Indonesia memang selalu menjadi good boy, terus berpacu mengimplementasikan berbagai kesepakatan sesuai jadwal sehingga sering tidak memperhatikan kesiapan industri dalam negeri.

    Tidak jarang kebijakan yang diterbitkan pemerintah tidak bisa diimplementasikan dengan baik, karena bertentangan dengan kebijakan lainnya, seperti Perpres Daftar Negatif Investasi yang akhirnya akan direvisi.

    Kiranya Kepala Negara perlu tegas dalam memberikan arahan dan menunjuk menterinya yang mampu mendorong dan mempunyai nasionalisme tinggi sehingga menjadikan Indonesia sebagai pemain regional.

    Bukan malah menjadikan Tanah Air sebagai target pasar dari negara Asean yang lebih maju seperti Singapura dan Malaysia. Pasar yang besar dan nasib 220 juta penduduk Indonesia dipertaruhkan dalam Piagam Asean, karena hingga saat ini kebijakan pengembangan industri nasional pun masih belum jelas.

    Tentunya kita tidak ingin pasar tunggal dan basis produksi diterjemahkan secara sederhana, bahwa negara Asean lainnya bisa memperoleh bahan bakunya dari Indonesia, selanjutnya diolah dan akhirnya dipasarkan kembali di Tanah Air.

    Kalau itu yang terjadi, pertanyaannya untuk kepentingan siapakah Piagam Asean ini diteken? Negara anggota yang lebih majukah atau perusahaan multinasional yang di negaranya miskin sumber daya alam dan terbatas pasarnya? (neneng.herbawati@bisnis.co.id)

    Oleh Neneng Herbawati
    Wartawan Bisnis Indonesia

  • Tidak ada komentar: