Senin, 04 Februari 2008

Antara Siaran Pers, Rahasia Bank dan UU Pajak

Halaman Depan Senin, 04/02/2008 Antara siaran pers, rahasia bank & UU Pajak

Sejumlah bankir tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya meski Ditjen Pajak-melalui siaran pers Direktorat Penyuluhan dan Humas-menjamin kerahasiaan perbankan tetap terlindungi sesuai ketentuan perpajakan sebelumnya.

Siaran pers Selasa pekan lalu itu tampaknya bertujuan meredam kegelisahan para bankir yang takut kehilangan nasabah akibat kerahasiaan bank diperlonggar.

Kegelisahan kalangan perbankan muncul setelah Humas Depkeu mengeluarkan siaran pers tentang Peraturan Menteri Keuangan No.201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-pihak yang Terikat oleh Ketentuan Merahasiakan, yang diteken Sri Mulyani Indrawati akhir Desember 2007.

Siaran pers Depkeu

Kalangan perbankan heboh karena siaran pers Biro Humas Depkeu No.07/ HMS/2008 tanggal 22 Januari 2008-yang diteken Kepala Biro Humas Depkeu Samsuar Said-itu diberi judul Menkeu Berhak Mengetahui Data WP di Bank.

Siaran pers itu tampaknya kurang membedakan antara data pihak ketiga (selain bank) yang bisa dibuka atas permintaan tertulis Dirjen Pajak dan penyidik pajak, dan data pihak ketiga khusus bank (Pasal rahasia bank) yang hanya bisa dibuka atas permintaan tertulis Menteri Keuangan.

Tanpa membaca isi siaran pers itu, orang dengan mudah tergiring untuk masuk ke dalam persepsi bahwa pokok yang dibahas di Permenkeu ini adalah data bank, bukan data yang lain.

Pada alinea pertama, misalnya, tertulis: Menkeu meniadakan kewajiban merahasiakan bagi pihak-pihak ketiga yakni bank, akuntan publik, notaris ...dan seterusnya .. guna keperluan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dan penagihan pajak.

Kalimat itu langsung disambung dengan kata-kata: Pihak-pihak ketiga, berdasarkan permintaan secara tertulis dari Dirjen Pajak atau penyidik atau Menkeu kepada Gubernur BI dalam hal keterangan atau bukti yang diminta terkait kerahasian sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, wajib memberikan keterangan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permintaan keterangan atau bukti surat izin dari pihak yang berwenang.

Kalau hanya membaca siaran pers tersebut, tanpa membaca Permenkeu Nomor 201/PMK.03/2007, jelas pembaca akan berkesimpulan bahwa Direktur Jenderal atau penyidik atau Menteri Keuangan bisa langsung mengajukan permintaan tertulis kepada Gubernur Bank Indonesia.

Kesimpulan ini semakin kuat karena pada alinea ketiga, Samsuar Said menulis: Permintaan keterangan atau bukti secara tertulis oleh Direktur Jenderal Pajak, Penyidik, atau Menteri Keuangan sekurang-kurangnya memuat: (a) identitas Wajib Pajak, (b) keterangan dan/atau bukti yang diminta, dan (c) maksud dilakukannya permintaan keterangan dan/atau bukti.

Salah baca

Permenkeu No. 201/PMK.03/2007 merupakan peraturan pelaksana atas Pasal 35 ayat (3) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang mulai berlaku awal tahun ini.

Siaran pers Ditjen Pajak, yang dimaksudkan untuk 'meluruskan' siaran pers Depkeu juga tidak sepenuhnya benar, meski tidak sekacau siaran pers Depkeu. Ditjen Pajak menyatakan secara umum ketentuan mengenai prosedur pengungkapan rahasia bank tidak ada yang berubah. Semua masih seperti yang dulu. Benarkah?

Mungkin ada baiknya kita kaji, jika perlu, kata demi kata untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai masalah ini. Pertama, kita lihat bagaimana Pasal 35 pada UU KUP yang lama dan UU KUP yang baru.

Pasal 35 UU KUP lama mengatur tentang kewajiban para pihak untuk memberikan data, bukti atau keterangan kepada Ditjen Pajak dalam rangka pemeriksaan pajak atau penyidikan pajak. Pasal 35 UU KUP baru ada perubahan pasal sekaligus substansinya.

Permintaan data tersebut tidak sebatas pada kegiatan pemeriksaan atau penyidikan pajak saja, tapi juga termasuk penagihan pajak.

Siapa yang berhak meminta data tersebut? Baik UU lama maupun UU baru, dua-duanya menyebut Direktur Jenderal Pajak. Khusus untuk bank, yang bisa meminta adalah Menteri Keuangan melalui surat tertulis kepada Gubernur Bank Indonesia.

Selama ini, paling tidak sepengetahuan penulis, tidak ada peraturan menkeu yang mengatur secara khusus masalah ini. Pasal 35 UU KUP lama memang tidak mengamanatkan adanya peraturan Menkeu.

Ini berbeda dengan UU KUP yang baru. Di sana jelas-jelas tertulis, tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terkait oleh kewajiban merahasiakan diatur dengan atau berdasarkan Permenkeu. Hasilnya, Menteri Keuangan pada 28 Desember 2007 menerbitkan peraturan nomor 201/PMK.03/2007.

Yang menjadi "sumber masalah" adalah Pasal 1 ayat (3) yang selengkapnya berbunyi:

Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud ayat (2) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dan penagihan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari: Dirjen Pajak atau penyidik pajak; atau Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia dalam hal keterangan atau bukti yang diminta terikat kerahasiaan sebagaimana diatur dalam UU Perbankan.

Pasal 1 ayat (3) Permenkeu ini memang bisa ditafsirkan berbeda oleh pembuatnya.

Ada kesan, bahwa semua kewajiban merahasiakan itu otomatis hilang atas permintaan tertulis dari Dirjen Pajak, penyidik pajak dan Menkeu. Kepala Biro Humas Depkeu tampaknya termasuk yang mempunyai kesan demikian.

Namun, bisa juga mempunyai arti lain (dan mudah-mudahan ini yang benar) bila diterjemahkan dengan lebih hati-hati. Haruf a (Dirjen Pajak dan penyidik pajak) khusus untuk data pihak ketiga kecuali bank, sedangkan huruf b (wewenang Menteri Keuangan) berlaku bila menyangkut kerahasiaan bank.

Meski demikian, memang ada beberapa catatan atas materi Permenkeu ini yang tampaknya kurang selaras dengan UU KUP. Catatan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, UU menyebutkan permintaan data tersebut hanya dalam rangka pemeriksaan pajak, penyidikan pajak dan penagihan pajak. Namun dalam Permenkeu No.201/PMK.03/2007 disebutkan (1) pemeriksaan pajak, (2) pemeriksaan bukti permulaan, (3) penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dan (4) penagihan pajak. UU KUP tidak menyebut "pemeriksan bukti permulaan".

Kedua, Permenkeu ini memperluas pihak yang bisa meminta data, termasuk penyidik pajak. Padahal UU hanya menyebut Dirjen Pajak. Penyidik pajak sama sekali tidak disebut. (parwito @bisnis.co.id)

Oleh Parwito
Wartawan Bisnis Indonesia

Minggu, 03 Februari 2008

Blunder dan Malapetaka TErbesar TErkait BLBI

BLUNDER DAN MALAPETAKA TERBESAR TERKAIT BLBI : O.R. (Artikel 5)
Minggu, 27 Januari 08

PENERBITAN SURAT UTANG PEMERINTAH SEJUMLAH RP. 430 TRILYUN DENGAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN BUNGA SEBESAR RP. 600 TRILYUN

Bank-bank yang tidak ditutup dinilai oleh IMF. Yang kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya antara minus 25 % atau lebih baik harus dinaikkan sampai menjadi 8 % sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss.

Caranya ialah menaikkan modal ekuitinya, karena CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk menaikkan Ekuiti, maka sebagai penggantinya diterbitkan Surat Utang yang diinjeksikan kepada bank-bank tersebut sampai CAR-nya mencapai 8%.

Jumlah keseluruhan Rp. 430 trilyun. Surat utang yang khusus diterbitkan untuk meningkatkan CAR bank-bank sampai memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh BIS dan diwajibkan oleh IMF ini disebut Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR).

Sebagaimana layaknya surat utang, OR juga mengandung kewajiban pembayaran bunga. Bunga yang dibayarkan kepada bank-bank yang memiliki OR ini juga dimaksud untuk memberi subsidi kepada bank-bank yang sedang menderita kerugian.

Jadi OR mempunyai dua fungsi. Yang pertama yalah meningkatkan kecukupan modal atau solvency. Yang kedua untuk memperoleh pendapatan bunga, agar bank tidak menderita kerugian. Segera saja timbul pertanyaan, apakah OR yang dimaksud untuk meningkatkan kecukupan modal sampai 8 % sesuai dengan formula yang ditetapkan oleh BIS dengan sendirinya akan memberikan pendapatan bunga, sehingga rugi/laba bank impas? Tidak rugi dan tidak untung? Jelas tidak. Masalah ini akan saya bahas tersendiri.

OR MEMBANGKRUTKAN KEUANGAN NEGARA

Kalau setiap lembar dari OR dibayar tepat pada waktunya oleh pemerintah, kewajiban pembayaran bunganya sebesar Rp. 600 trilyun. Maka pemerintah tidak dapat menghindar dari kewajiban pembayaran utang OR yang diciptakan beserta kewajiban pembayaran bunga yang melekat pada OR tersebut. Bagaimana kalau pada tanggal jatuh temponya OR ternyata tidak dapat dibayar karena pemerintah tidak cukup mempunyai uang? Pembayarannya akan ditunda dengan menerbitkan surat utang baru untuk membayar OR yang sudah jatuh tempo. Bagaimana gambarannya?

3 staf sekretariat dari BPPN, yaitu Gatot Arya Putra, Ira Setiati dan Dan Damayanti di tahun 2002 mengembangkan sebuah skenario dalam tiga buah tulisan. Yang pertama dan kedua sempat dimuat dalam Bulletin resmi BPPN berjudul “Analisa Ekonomi”. Yang ketiga dilarang terbit. Namun mereka mengirimkannya kepada saya selaku Kepala Bappenas dengan nama pengirim “Kami yang peduli kepada bangsa ini”. Saya gandakan dan bagikan kepada para anggota DPR dan pers. Mereka bertiga langsung dipecat. Apa yang ditulis oleh mereka sehingga dilarang terbit, dan kemudian dipecat?

Seperti dikatakan tadi, dengan jumlah kewajiban pembayaran yang demikian besarnya, juga besar kemungkinannya bahwa pemerintah tidak akan mempunyai cukup uang untuk membayarnya tepat pada tanggal jatuh temponya. Atas dasar ini, ketiga staf BPPN tersebut mengembangkan enam buah skenario tentang sampai berapa besar membengkaknya kewajiban pemerintah membayar cicilan utang pokok beserta bunganya.

Skenario terbaik ialah kalau setiap lembar OR dapat dibayar tepat pada waktunya. Dalam hal ini, kewajiban pemerintah sebesar Rp. 1.030 trilyun, yaitu Rp. 430 trilyun utang pokok dan Rp. 600 trilyun bunga.

Skenario terburuk ialah kalau setiap lembar OR yang jatuh tempo ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 trilyun.

Menteri Keuangan ketika itu, Boediono telah mencapai kata sepakat dengan DPR tentang penataan ulang jadwal pemerintah membayar OR yang disebutnya dengan istilah reprofiling. Kesimpulannya, dengan reprofiling tersebut, kewajiban pembayaran oleh pemerintah akan membesar dengan Rp. 860 milyar per tahun selama 8 tahun.

Bagaimana hasilnya sampai sekarang sama sekali tidak jelas. Yang kita baca ialah diterbitkannya surat utang negara terus menerus. Posisi utang negara, terutama yang berkaitan dengan OR tidak pernah diumumkan dengan jelas.

Seperti kita ketahui, yang sangat memberatkan keuangan negara sehingga boleh dikatakan sudah bangkrut ialah porsi pembayaran cicilan utang pokok dan bunga yang rata-rata 25 % dari APBN.

JALAN PIKIRAN YANG KONYOL DALAM MENGEJAR SOLVENCY DAN RENTABILITAS SEKALIGUS

Seperti telah ditulis tadi, apakah penerbitan OR dengan jumlah yang dimaksud untuk memenuhi kecukupan modal atau CAR sampai 8 % dengan sendirinya juga memenuhi kebutuhan menutup kerugian bank sampai jumlah yang tidak berlebihan atau kekurangan ?

Ternyata tidak. Secara teoritis dan logis saja bisa dikatakan bahwa tidak mungkin sama. Kalaupun pernah sama, itu sebuah kebetulan yang luar biasa.

Penyuntikan bank dengan OR dimaksud untuk memperbaiki kecukupan modal dengan surat utang. Maka jumlah dari keseluruhan surat utangnya yang bernama OR ditentukan sebesar angka yang membuat CAR 8 %. Tingkat suku bunga yang berlaku buat OR ditentukan yang sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Apakah tingkat suku bunga ini lantas mesti menghasilkan pendapatan bunga yang impas dengan kerugian bank supaya bank tidak merugi atau istilahnya IMF ketika itu, bank tidak “bleeding” lagi?

Saya membuat analisis dari Neraca per 31 Desember 2002 dari 10 bank yang menerima OR paling banyak. Setelah tanggal tersebut analisis sangat sulit dibuat, karena laporan keuangan bank-bank yang menerima OR mengkaburkan pendapatan bunga dari OR. Artinya dicampur aduk dengan pendapatan-pendapatan lainnya, sehingga tidak bisa diperoleh angka yang khusus merupakan pendapatan bunga dari OR.

Analisis dalam bentuk Tabel adalah sebagai berikut.

Kerugian Bank-Bank Rekap Bila Bunga O.R Dicabut
(per 31 Desember 2002)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

No

Bank

Laba(Rugi)
Bersih
(dalam jutaan)

Bunga O.R
(dalam jutaan)

Laba(Rugi) Tanpa Bunga O.R
(dalam jutaan)

1

Bank Mandiri

5.809.970

21.434.822

(15.624.852)

2

Bank Negara Indonesia

2.510.653

7.537.490

(5.026.837)

3

Bank Rakyat Indonesia

1.469.670

3.735.770

(2.266.100)

4

Bank Tabungan Negara

303.043

1.844.796

(1.541.753)

5

Bank Internasional Indonesia

131.876

2.207.806

(2.075.930)

6

Bank Danamon

989.284

3.331.297

(2.342.013)

7

Bank Permata

(847.855)

1.106.363

(1.954.218)

8

Bank Niaga

76.593

1.134.047

(1.057.454)

9

Bank Lippo

192.564

739.755

(547.191)

10

Bank Central Asia

3.400.066

8.591.568

(5.191.502)

Jumlah

14.035.864

51.663.714

(37.627.850)

Kita lihat bahwa dari sepuluh bank yang menerima OR sampai kecukupan modalnya memenuhi syarat ternyata pendapatan bunga yang diperoleh kelebihan banyak kalau sekedar hanya dimaksud untuk menutup kerugian supaya impas, atau supaya bank berhenti bleeding.

Kita lihat Bank Mandiri dari Tabel ini. Perolehan pendapatan bunga dari OR yang disuntikkan sebesar Rp. 21,435 trilyun. Kerugiannya Rp. 15,625 trilyun. OR yang disuntikkan kepada Bank Mandiri tidak hanya membuat Bank Mandiri berhenti bleeding, tetapi memperoleh laba sebesar Rp. 5,810 trilyun, karena disubsidi sebesar Rp. 21,435 trilyun dalam bentuk bunga OR.

Sekarang kita perhatikan BCA (no. 10 dalam Tabel). BCA merugi Rp. 5,192 trilyun. Tetapi injeksi OR sebesar Rp. 60 trilyun membuahkan pendapatan bunga sebesar Rp. 8,592 trilyun, sehingga akhirnya membukukan laba sebesar Rp. 3,4 trilyun. Bank ini akhirnya dijual dengan nilai sebesar Rp. 10 trilyun saja. Tentang ini saya bahas tersendiri.

KEKONYOLAN FORMULA MENGHITUNG KECUKUPAN MODAL DAN AKIBATNYA

Kecukupan Modal atau yang dinamakan CAR adalah Modal Ekuiti dibagi dengan Asset Tertimbang Menurut Resiko (ATMR). Komponen dari ATMR bermacam-macam, dan karena itu, resikonya juga bermacam-macam. Caranya BIS menentukan resiko buat Indonesia sangat aneh.

Semua asset berupa pemberian kredit kepada perusahaan resikonya dianggap 100 % tanpa peduli seberapapun bonafidnya perusahaan yang memperoleh kredit.

Akibatnya, semakin bank yang disehatkan oleh pemerintah berhasil, semakin memburuk CAR-nya. Penjelasannya sebagai berikut.

Andaikan pada satu waktu tertentu ATMR sebesar Rp. 1,25 trilyun dan modal ekuitinya Rp. 100 milyar. Kalau dihitung, CAR-nya 8 %, yaitu Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 1,25 trilyun dikali 100 %. Setelah ini, ceteris paribus, bank berhasil menarik deposito dan tabungan sebesar Rp. 5 trilyun yang seluruhnya disalurkan dalam bentuk kredit kepada perusahaan-perusahaan sangat bonafid. Modal ekuiti tidak bertambah, tetapi ATMR ketambahan Rp. 5 trilyun, sehingga perhitungan CAR menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun, yaitu ATMR lama sebesar Rp. 1,25 trilyun ditambah dengan pemberian kredit baru sebesar Rp. 5 trilyun. CAR-nya menjadi Rp. 100 milyar dibagi dengan Rp. 6,25 trilyun dikali 100 % atau 1,6 %. Memang ini kondisi ceteris paribus, sedangkan kenyataannya tidak. Laba bersih ditambahkan pada modal ekuiti yang dampaknya memperbesar CAR. Betul, tetapi membutuhkan waktu, terjadi time lag, sedangkan penarikan deposito dan tabungan berjalan terus yang harus sesegera mungkin disalurkan ke sektor produktif, bukannya dibelikan SBI atau apa saja yang dijamin oleh pemerintah kalau mau dikatakan sehat.

Maka bank-bank tidak mau memberi kredit, maunya membeli SBI, karena SBI dan sejenisnya dianggap resikonya nol, sehingga tidak menurunkan CAR. Herankah kalau Loan to Deposit Ratio (LDR) setelah sekian lamanya tetap saja rendah? Dan herankah kalau di masa mendatang keuangan negara akan tetap saja sangat-sangat berat?

Sudah konyol seperti ini, Bank Indonesia yang independen merasa perlu terus menerus menerbitkan SBI dengan tingkat suku bunga yang menarik. Kecuali memberikan pendapatan kepada bank-bank yang mempunyai likuiditas tanpa bekerja, BI juga mengeluarkan sangat banyak uang untuk membayar bunga SBI. Berapa seluruhnya juga sangat sulit ditelusuri, karena BI tidak pernah pro aktif memberikan angka-angkanya secara transparan.

Yang memberatkan APBN kita itu perbankan yang prinsip-prinsip pengelolaannya didasarkan atas resep-resep IMF dan ketentuan-ketentuan BIS, bukan naiknya harga minyak dunia ! Jadi subsidi terbesar diberikan kepada perbankan. Pertama BLBI, lantas OR beserta bunganya, blanket quarantee, penentuan CAR yang asetnya beresiko nol kalau ada dukungan dari pemerintah dalam bentuk apa saja. Kenaikan harga minyak dunia tidak berdampak sama sekali pada pengeluaran pemerintah. Yang benar kalau diperdebatkan apakah harga BBM di Indonesia tidak terlalu murah ? Ini sangat berlainan dengan mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak dunia, semakin besar pengeluaran tunai pemerintah! Pengeluaran pemerintah tidak ada, sebaliknya, tengok APBN. Semua pos migas kalau digabung menunjukkan angka surplus. Inilah nasibnya bangsa yang tidak merdeka lagi dalam berpikir !

LAGI-LAGI PIKIRAN YANG BENAR DAN BAIK TIDAK DIGUBRIS

Penerbitan OR untuk memenuhi persyaratan BIS dalam CAR memang dipaksakan oleh IMF. Akibatnya adalah kewajiban pembayaran utang OR beserta bunganya yang boleh dikatakan membangkrutkan keuangan negara entah sampai kapan.

Sedikit orang yang mengerti dan memahaminya telah berbuat sekuat tenaga untuk menghindarinya. Semua upaya mereka gagal karena kuatnya pengaruh Berkeley Mafia. Yang pertama menyadari adalah Prof. Bambang Sudibyo selaku Menteri Keuangannya Gus Dur dan saya sendiri selaku Menko EKUIN-nya.

Kami berdua telah sepakat bahwa OR ditarik kembali oleh pemerintah tanpa membuat banknya bangkrut sebelum dijual kepada swasta atau diprivatisasi, yang juga merupakan persyaratan IMF.

OR adalah piutang dari bank-bank yang telah menjadi milik pemerintah kepada pemerintah. Atau pemerintah berutang kepada bank-bank yang dimiliki oleh pemerintah sendiri. Jadi ibaratnya utang dari kantong kiri kemeja satu orang kepada kantong kanan dari kemeja yang sama. Maka urusannya hanya bagaimana tekniknya. Teknik atau cara penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami oleh para teknokrat Berkeley Mafia maupun teknokrat IMF. Atau mungkin mereka memahaminya, tetapi sengaja mau mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan keuangan negara.

Cara mengeluarkannya yang pertama kali disepakati antara Menkeu (ketika itu) Bambang Sudibyo dan KKG secara diam-diam adalah mengganti OR dengan apa yang kami namakan zero coupon bond (ZCB). Ini adalah dokumen semacam obligasi yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Isinya jaminan pemerintah bahwa CAR senantiasa memenuhi persyaratan BIS. Tetapi ZCB tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Isinya hanya angka yang harus dianggap sebagai Modal Ekuiti agar CAR-nya 8 %. Jadi ZCB adalah dokumen jaminan pemerintah untuk membawa solvency bank pada persyaratan IMF. Tetapi ZCB sama sekali tidak mengandung kewajiban membayar bunga kepada pemegangnya. Bank yang merugi atau bleeding dibuat impas dengan subsidi tunai oleh pemerintah setiap bulannya yang jumlahnya persis sama dengan kerugiannya.

Semua bank diberi tenggang waktu 5 tahun untuk menjadi sehat atas kekuatan sendiri. Kalau tidak ditutup, dan kalau sudah sehat atas kekuatan sendiri, ZCB ditarik. Kalau penyehatan harus dicapai melalui privatisasi lebih baik. Tetapi ini berarti bahwa pembeli bank harus menginjeksi dengan uang segar yang tunai untuk secara riil meningkatkan modal ekuitinya.

Setelah itu, para ahli dalam bidang keuangan dan perbankan berdasarkan idealisme mengembangkan 6 (enam) alternatif solusi menarik OR sebelum bank dijual berikut OR-nya. Kesemua pikiran ini dimuat di Kompas tanggal 26 dan 27 Agustus 2002. Setelah itu dibukukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang dibagikan kepada semua anggota DPR, Bank Dunia, para Menteri dan Pers. Tim para ahli ini terdiri dari Dr. Dradjat Wibowo sebagai koordinator dan para anggotanya adalah : Anthony Budiawan, Dandossi Matram, Djoko Retnadi, Eko B. Supriyanto, Elvyn G. Masassya, Ito Warsito dan Lenny Sugihat.

Semuanya tidak digubris walaupun akibatnya kita rasakan sendiri sampai sekarang, yaitu mengeluarkan uang sebesar sekitar 25 % dari APBN entah sampai kapan.
Motifnya hanya satu, yaitu patuh pada IMF secara mutlak dan habis-habisan.

Prinsip dan inti pikiran Zero Coupon Bond yang sama sekali tidak diugbris sebagai cara untuk menarik kembali OR adalah sama dengan Capital Maintenance Note yang berasal dari pikirannya Paul Volcker yang diterapkan untuk menyelesaikan masalah sengketa BLBI antara BI dan Menteri Keuangan. Apa lagi sebabnya kalau bukan mental inlander yang hanya bisa menerima pikiran orang berkulit putih?

BANK-BANK DIJUAL DENGAN OR DI DALAMNYA

Akhirnya tanpa ada selembarpun OR yang ditarik kembali, bank-bank eks swasta yang di dalamnya masih mengandung OR atau tagihan kepada pemerintah dalam jumlah besar dijual kepada swasta. Banyak swasta asing yang membelinya dengan harga murah.

OR-nya segera dijual kepada publik, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengenali lagi kepada siapa berutang.

Contoh yang paling spetakuler adalah penjualan BCA dengan nilai Rp. 10 trilyun. Pembelinya memiliki BCA yang mempunyai tagihan dalam bentuk OR kepada pemerintah sebesar Rp. 60 trilyun.

Sekarang setelah telat mikir sekitar 7 tahun, seperti halnya dengan perhatian terhadap BLBI beserta malapetakanya, orang baru menyadari betapa tidak masuk akal dan betapa pemerintah dirugikan dengan penjualan BCA, yang sangat bisa dihindari

Oleh Kwik Kian Gie

Regulasi private equity fund segera terbit, Bapepam batas jumlah investasi di reksa dana khusus

Bursa
Senin, 04/02/2008
Regulasi private equity fund segera terbit
Bapepam batasi jumlah investor di reksa dana khusus
JAKARTA: Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) berencana membatasi jumlah investor yang menanamkan modalnya melalui reksa dana tujuan khusus (private equity fund) di tiap manajer investasi (MI).

Kepala Biro Pengelolaan Investasi Bapepam-LK Djoko Hendratto mengatakan tiap satu MI hanya diperbolehkan mengelola dana dari maksimal 50 investor dalam produk reksa dana tujuan khusus yang dikeluarkan.

Ketentuan tersebut akan segera keluar dalam waktu dekat dan sedang menunggu persetujuan Ketua Bapepam-LK.

"Draft regulasi private equity fund baru saja saya teken hari ini [akhir pekan lalu]. Kami membatasi yang boleh membeli ini hanya investor yang ahli, terdidik, dan profesional dalam mengukur risiko," tuturnya kepada Bisnis, kemarin.

Dia juga menuturkan Bapepam-LK berencana membatasi jumlah investor agar tidak lebih dari 50 investor untuk setiap produk.

Selanjutnya, dia menuturkan MI yang mengelola reksa dana tujuan khusus harus memiliki aset minimal Rp25 miliar dan minimal mempunyai satu pegawai besertifikat chartered financial analyst (CFA) yang ikut langsung mengelola reksa dana ini.

Djoko menuturkan Bapepam-LK masih meminta masukan publik mengenai isi aturan yang tercantum dalam penerbitan reksa dana tujuan khusus.

Analis reksa dana PT Infovesta Utama Rudiyanto mengatakan produk reksa dana tersebut tidak akan mengganggu pertumbuhan industri reksa dana konvensional.

"Reksa dana ini akan memperkaya pilihan investasi di Indonesia, seperti kehadiran reksa dana yang dapat diperdagangkan di bursa (exchanged traded bond/ ETF)." tuturnya.

Bahkan, lanjutnya, produk reksa dana tujuan khusus tersebut bisa menjadi solusi menyalurkan dana investasi dari pasar modal ke sektor riil secara langsung, seperti investasi di sektor infrastuktur maupun agrikultur.

Dia memperkirakan 90% dari MI sekarang memiliki kapasitas untuk menerbitkan reksa dana tujuan khusus seperti ketentuan Bapepam-LK.

"Mayoritas MI kecil pada kenyataannya juga mengelola dana-dana di luar reksa dana dalam jumlah besar, yakni discretionary fund."

Dicretionary fund adalah skema pengelolaan dana yang memungkinkan MI berwenang membuat keputusan investasi tanpa persetujuan pemilik dana terlebih dahulu.

Kendala klasik

Namun, Rudiyanto mengingatkan kendala klasik yang menghambat pengembangan produk baru reksa dana, yakni sosialisasi ke publik.

"Reksa dana ini jangan sampai seperti ETF yang sampai sekarang belum diserap publik karena minimnya pengetahuan."

Reksa dana tujuan khusus bisa dibelanjakan pada efek-efek yang tidak terdaftar di bursa ataupun investasi di sektor riil langsung. (04) (arif.gunawan@bisnis.co.id)

Oleh Arif Gunawan S.
Bisnis Indonesia

Inflasi tinggi cermin kegagalan kebijakan ad hoc

Ekonomi Makro
Senin, 04/02/2008
'Inflasi tinggi cermin kegagalan kebijakan ad hoc'
JAKARTA: Tingginya inflasi pada Januari mencerminkan kegagalan pemerintah mengantisipasi gejolak pangan dalam jangka panjang dan kesalahan kebijakan di sektor pertanian yang bersifat sementara.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef) Aviliani menyatakan kontribusi terbesar inflasi Januari berasal dari bahan makanan dan BBM. Lonjakan harga sebenarnya dapat dikendalikan jika pemerintah memiliki skenario jangka panjang untuk mengatur produksi dan distribusi, terutama komoditas pangan.

"Ini cermin bahwa tidak ada antisipasi. Revitalisasi pertanian tidak jalan. Amerika sudah mengubah pangan jadi nabati. China menaikkan bea keluar perdagangan untuk mengamankan stok setelah menyadari cuaca yang tidak bersahabat," katanya saat dihubungi Bisnis, tadi malam.

Dia menyatakan selama ini sektor pertanian sebagai pemasok bahan pangan tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Subsidi tidak diberikan langsung kepada petani, melainkan kepada produsen pupuk atau hanya dinikmati oleh pedagang.

Di sisi lain, lanjutnya, hanya lahan sawit yang bertambah sementara area tanam bagi komoditas lain justru menyusut yang mengakibatkan produktivitas petani berkurang. "Seharusnya memang jauh-jauh hari diantisipasi. Ada kesalahan kebijakan. Pertanian kurang mendapat perhatian. Seharusnya bibit, pupuk dan tanah disediakan. Petani tinggal memanfaatkan."

Aviliani melanjutkan, karena inflasi yang tinggi pada Januari ini kecil kemungkinan bagi BI untuk menurunkan suku bunga. Pilihan ini diperkirakan akan dipilih oleh bank sentral karena untuk mengamankan pertumbuhan di sektor riil.

Jika otoritas moneter nekad menaikkan BI Rate, aliran dana keluar akan membesar dan akan menekan nilai tukar terhadap dolar AS. "Mau tidak mau [BI Rate] tidak akan naik, tetapi mungkin juga tidak diturunkan. Kondisi seperti saat ini memang berat. Bahkan, jika inflasi tetap di atas 1% pada Maret, [BI Rate] harus naik."

Gagal meredam

Ekonom Senior BNI Ryan Kiryanto mencontohkan bahan makanan menyumbang 2,77% terhadap inflasi tahunan dari biasanya di bawah 2%. Makanan memberikan kontribusi 2,02% sementara perumahan, air, listrik, dan bahan bakar justru relatif rendah hanya 1,8%.

"Kenaikan harga makanan yang menjadi penyebab lonjakan inflasi menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan kenaikan harga bahan makanan [terutama kedelai] melalui operasi pasar dan kebijakan restriktif lainnya [seperti pengenaan pajak ekspor atau domestic market obligation]," ujarnya.

Ryan menilai posisi inflasi Januari 2008 sebesar 1,77% (month-to-month) dan 7,36% (year-on-year) akan menyulitkan BI menurunkan tingkat suku bunga BI Rate yang kini berada di level 8%.

Dia menambahkan bank sentral tetap perlu memerhatikan expected inflation sebagai faktor utama selain pemangkasan bunga Fed Rate sebesar 125 basis poin dalam waktu singkat. "Dari pertimbangan faktor eksternal, maka ada ruang bagi BI menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%," katanya.

Kendati demikian, faktor banjir pada Februari berpotensi mengganggu distribusi barang dan bahan makanan sehingga dapat meningkatkan inflasi. (ahmad.muhibbuddin@bisnis.co.id/fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Oleh Fahmi Achmad & Ahmad Muhibbuddin
Bisnis Indonesia

Dampak Pajak final terhadap P3B (1)

Ekonomi Makro
Senin, 04/02/2008
Dampak pajak final terhadap P3B (1)
Pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha bersifat final merupakan cara pengenaan pajak yang mudah penatausahaannya dan menjamin penerimaan pajak.

Pengenaan pajak secara final berdampak terhadap rugi yang diderita perusahaan tidak dapat dikompensasi karena pengenaan pajak final pada dasarnya mirip dengan penentuan laba usaha dengan norma. Secara teori metode tersebut membuat ketentuan Pasal 6 dan 9 Un-dang-undang PPh menjadi tidak berarti, atau diabaikan.

Pengenaan pajak secara final ini, khususnya terhadap industri konstruksi, pernah diterapkan pada 1996, yang kemudian diubah kembali pada 2000.

Pengenaan pajak final pada masa tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 73/1996, yang diterapkan terhadap industri konstruksi dan jasa konsultan selain konsultan hukum dan konsultan pajak.

Peraturan tersebut menyebutkan bahwa perlakuan pajak tersebut berlaku bagi wajib pajak yang bergerak di bidang yang disebutkan di muka. Ini berarti bahwa pengenaan pajak final juga berlaku terhadap bentuk usaha tetap (BUT).

Pengenaan pajak final terhadap BUT menimbukan beberapa masalah baik jika BUT dimaksud adalah cabang perusahaan yang berdomisili di negara mitra P3B ataupun di negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia.

Pada minggu akhir Desember 2007 diberitakan perlakuan pajak terhadap industri konstruksi dan realestat akan diberlakukan pajak final.

Masalah yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dengan mengambil ketentuan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.73/1996 sebagai contoh.PP No. 73/1996

Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut di atas perusahaan yang bergerak di jasa konstruksi dikenakan PPh final sebesar 2%. Ini berarti laba kena pajaknya adalah 6,67% dari besarnya kontrak.

Seperti telah disinggung di atas ketentuan dalam PP No. 73/1996 menyebut bahwa yang dikenakan perlakuan pajak tersebut adalah wajib pajak di bidang usaha pelaksanaan konstruksi.

Jadi perlakuan tersebut juga mencakup BUT, sehingga dengan demikian timbul persoalan bagaimana menghitung laba setelah-pajak, sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4). Berdasarkan angka persen tersebut di atas, maka laba-setelah pajak dari BUT dapat dihitung sebagai berikut, dengan mengambil contoh nilai kontrak adalah Rp10 miliar.

Nilai kontrak: Rp10 miliar

PPh Badan: 2% x Rp10 miliar = Rp200 juta Laba setelah pajak: Rp10 miliar - Rp200 juta = Rp 9,8 miliar.

Dengan demikian, laba-setelah pajak dari BUT tersebut (dengan asumsi bahwa BUT tersebut bukan berdomisili di negara P3B) adalah 20% dari Rp9,8 miliar = Rp1,96 miliar.

Namun demikian berdasarkan penegasan dari Dirjen Pajak No. S-25/PJ.43/2000 menegaskan penghitungan dari Pasal 26 ayat (4) adalah 20% dari jumlah penghasilan neto, berdasarkan laporan keuangan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh final.

Dengan demikian, wajib pajak harus memasukkan laporan keuangan untuk menghitung penghasilan neto dari proyek tersebut. Masalah akan timbul seandainya didalam laporan keuangan tersebut wajib pajak ternyata menderita rugi. Hal ini bisa terjadi pada proyek konstruksi yang memakan waktu lebih dari satu tahun. Kerugian tersebut dapat saja terjadi terutama untuk tahun pertama dari proyek tersebut.

Kerugian dimaksud tidak dapat dikompensasikan karena dengan penerapan pajak final dianggap tidak pernah terjadi kerugian.

Dari sudut pandang DJP dengan laporan keuangan yang menyatakan rugi maka tidak ada PPh Pasal 26 ayat (4) yang terutang. Jadi dengan penegasan dari Dirjen Pajak tersebut pelaksnaan dari aturan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.73/1996 menjadi tidak konsisten.

Perlakuan ini kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No.140/2000 yaitu bahwa pengenaan pajak final atas jasa konstruksi hanya diberlakukan kontrak yang nilainya kurang dari Rp1 miliar.

Pada Desember 2007 terbetik berita tentang rencana perlakuan final ini akan diberlakukan kembali. Ada baiknya hal-hal yang dikemukakan di atas dijadikan pertimbangan untuk mencegah kerancuan dikemudian hari, seandainya penerapannya juga mencakup BUT.

Oleh Rachmanto Surahmat Tax Partner,
Purwantono,Sarwoko & Sandjaja Consult

Kasus aliran dan BI ke DPR

Umum
Senin, 04/02/2008
Kasus aliran dana BI ke DPR
KPK diduga gunakan pasal penyuapan
JAKARTA: Kasus dugaan penyimpangan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke anggota DPR periode 1999-2004 diperkirakan segera memunculkan beberapa tersangka baru, terutama dari kalangan parlemen.

Denny Indrayana, pengamat korupsi dari Fakultas Hukum UGM, menuturkan kemungkinan besar penyimpangan aliran dana BI ke DPR mengerucut pada pasal tentang penyuapan, karena program diseminasi sendiri pada prinsipnya baik.

"Saya kira arahnya adalah soal tuduhan penyuapan, dan ini berarti ada yang menyuap dan disuap," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.

Menurut Koordinator Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM tersebut, paling sedikit tersangka baru berasal dari anggota atau mantan anggota DPR.

Denny menuturkan kemungkinan KPK telah menemukan bukti-bukti terjadinya penyimpangan dalam program diseminasi, dan itu bisa saja tidak semua pihak bakal menjadi tersangka.

"Masalahnya tinggal sejauh mana alat bukti yang didapat KPK. Kalau tak semua orang jadi tersangka, itu bukan berarti tebang pilih," katanya.

Dalam pemeriksaan KPK, dana yang digunakan BI dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar diduga mengalir ke Panitia Perbankan Komisi IX DPR periode 2003-2004 senilai Rp31,5 miliar.

Dana itu untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amendemen UU No. 23/1999 tentang BI, sedangkan sisanya, Rp68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi, dan mantan deputi gubernur BI dalam kasus BLBI.

KPK telah menetapkan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah sebagai tersangka dalam kasus aliran dana ke DPR, bersama dua pejabat BI lainnya, yaitu Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro Gubernur BI Rusli Simanjuntak (kini Kepala BI Surabaya).

Audit forensik

Dalam perkembangan lain, sejumlah pihak meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK melakukan audit khusus atau forensik terhadap kasus aliran dana BI senilai Rp100 miliar guna memastikan ke mana saja larinya 'uang panas' itu.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Endin A.J. Soefihara menyatakan legislatif akan meminta BPK untuk melakukan audit investigasi untuk kasus aliran dana BI agar tidak memunculkan berbagai macam multipenafsiran dan simpang-siur isu.

"DPR akan meminta BPK untuk audit investigasi. Jadi, audit khusus atas itu semua, supaya tak ada simpang-siur isu," kata Endin dalam diskusi Pertaruhan Kredibilitas BI di Jakarta, akhir pekan lalu.

Tim Ahli Pusat Ekonomi Kerakyatan UGM Ichsanuddin Noorsy menyatakan kejanggalan yang perlu diungkapkan kepada publik dengan audit investigasi adalah larinya dana itu untuk apa saja. Pasalnya waktu itu isu BLBI juga sedang santer.

Direktur Executive Centre for Banking Crisis (CBC) Deni Daruri meminta KPK secara sporadis membersihkan BI dari oknum-oknum yang terlibat aliran dana BI dan BLBI agar kredibilitas lembaga itu terjaga. (11) (tomy.sasangka@bisnis.co.id)

Oleh Tomy Sasangka
Bisnis Indonesia

Dari Poco-poco ke dansa-dansi

Umum
Senin, 04/02/2008
Dari poco-poco ke dansa-dansi
Megawati Soekarnoputri agaknya tak pernah surut bermanuver. Dalam peringatan Hari Ulang Tahun ke-35 PDI Perjuangan di GOR Sriwijaya, Palembang, Sumsel, Kamis lalu, putri Bung Karno itu mengkritik pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wapres Jusuf Kalla seperti penari poco-poco yang maju satu langkah, mundur satu langkah. Maju dua langkah, mundur dua langkah. Hanya bisa membuat orang senang, tetapi tidak mampu menyelesaikan pokok permasalahan.

Kritikan itu merupakan bagian dari pidato politik Megawati sebagai Ketua Umum PDIP di depan massanya yang berlangsung sekitar satu jam. Agaknya Megawati ingin melemparkan isu ke publik, terutama konstituennya, mengenai kinerja pemerintah yang tak kunjung optimal, misalnya dalam soal penanganan masalah kemiskinan.

Setelah kalah dalam Pemilihan Presiden-Wapres 2004, PDIP yang waktu itu mengusung Megawati sebagai incumbent, memutuskan untuk menjadi partai oposisi. Sejak itulah Megawati menjadi cukup rajin mengkritik pemerintahan SBY-JK.

Adalah Megawati pula yang melemparkan kritik bahwa pemerintahan SBY hanya bisa tebar pesona. Kalau dipelesetkan ke judul buku karya Soegiarso Soerojo yang dilarang beredar pemerintah Orde Baru pada 1989 tentu menjadi lebih menarik lagi. Siapa menabur angin akan menuai badai. Siapa menebar pesona akan menuai ....

Yang jelas, pantun berbalas. Presiden Yudhoyono tidak memberikan sendiri tanggapannya. Jubir Presiden Andi Mallarangeng yang menyampaikan pantun balasan. Memang bukan inisiatif sendiri. Pak Jubir berkumis itu hanya menjawab pertanyaan para wartawan. Namun, publik tetap melihatnya sebagai jawaban atas kritik Megawati.

Andi pun dengan gaya khasnya berargumen bahwa pemerintahan yang dipimpin bosnya selalu cepat mengatasi masalah yang muncul. "Itu kepimpinan yang langsung hand on, bukan maju-mundur," ujar Andi, sehari setelah Megawati melontarkan kritiknya.

Soal tarian poco-poco, Andi mengatakan poco-poco justru tarian yang bagus. "Jangan melecehkan tarian Sulawesi. Itu tarian luar biasa," katanya

Jual gas murah

Wapres Jusuf Kalla pun menjawab soal poco-poco itu. Menurut dia, tarian poco-poco lebih sehat daripada dansa-dansi yang hanya berputar-putar sambil menjual gas murah. "Mengerti kan maksudnya?"

Sekadar catatan, pada Maret 2002, Megawati yang saat itu masih menjadi Presiden melakukan kunjungan kenegaraan ke China. Di saat jamuan makan malam, Presiden Jiang Zemin secara spontan mengajak Megawati berdansa.

Saat itu kesepakatan jual beli gas dari ladang Tangguh, Papua, ke Provinsi Fujian, China, hanya US$2,4 per million metric british thermal unit (mmbtu). Kontrak selama 25 tahun dan berlaku mulai Februari 2009.

Sekadar perbandingan, angka itu jauh lebih rendah daripada harga yang ditawarkan kilang North West, Australia (Agustus 2002), yang menjual US$3,6 per mmbtu ke Provinsi Guangdong, China, juga untuk jangka waktu 25 tahun.

Wapres Kalla dalam kesempatan terpisah mengatakan kontrak gas Tangguh dengan Fujian itu hanya akan menghasilkan US$500 juta per tahun. Dengan harga gas di pasaran US$11-US$15 per mmbtu saat ini, mestinya Indonesia bisa memperoleh pendapatan US$1,5 miliar per tahun.

Dengan kontrak selama 25 tahun, berarti potensi kerugian Indonesia mencapai sedikitnya US$20 miliar-US$25 miliar per tahun.

Pengamat politik Effendi Ghazali menilai lontaran-lontaran kritik antarkandidat sebagai hal lumrah. Asalkan penggunaan kiasan langsung diarahkan dengan contoh kasus.

Akan tetapi kalau kritik lebih dimaksudkan untuk mengejek, tentu masalahnya adalah kedewasaan berpolitik. Dan publik yang kian pintar pasti mampu memilih dan memilah mana kritik yang konstruktif dan substantif... (tri.dp@bisnis.co.id)

Oleh Tri D. Pamenan
Wartawan Bisnis Indonesia

pasar cipinang mulai tolak beras

Fokus Daerah
Senin, 04/02/2008

Pasar Cipinang mulai tolak beras

CIREBON: Ribuan ton beras menumpuk di beberapa pabrik usaha penggilingan beras di Kabupaten Cirebon menyusul adanya penolakan pembelian oleh pedagang beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta.

Penolakan pembelian beras itu terjadi sejak sebulan terakhir yang menyebabkan sejumlah penggilingan di Kabupaten Cirebon terhenti dan pengusaha beras menjadi kebingungan. Selain itu petani juga mulai merasakan imbas penolakan beras dari Pasar Induk Cipinang tersebut.

Sumarno, pengusaha beras dan pemilik penggilingan di Desa Bakung Lor Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon mengatakan biasa melakukan pengiriman sebanyak 20 ton beras perhari, namun kini beras yang sudah digiling menumpuk di gudang karena tidak diterima di Jakarta.

"Cipinang tidak mau membeli, kalaupun membeli jumlahnya sedikit sekali. Akhirnya beras itu kini banyak yang menumpuk di gudang,"ujar Sumarno.

Kesulitan yang sama diungkapkan Suud (57), pemilik pabrik penggilingan beras di Desa Gegesik Kecamatan Gegesik Kabupaten Cirebon.

Dia berharap kondisi itu cepat selesai dan pengusaha beras dapat menjual kembali ke Cipinang.

Tentang alasan penolakan beras asal Cirebon, keduanya mengungkapkan kemungkinan besar karena para pedagang beras di Pasar Cipinang Jakarta takut terkena razia, terkait dengan makin maraknya peredaran beras oplosan.

Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan (Distanbunak) Kabupaten Cirebon Ali Effendi mengatakan di Kabupaten Cirebon terdapat sekitar 614 penggilingan beras. Dari jumlah itu sekitar 80% penggilingan kini tidak bisa berjalan karena ditolaknya beras asal Cirebon oleh pedagang beras di Pasar Induk Cipinang.

"Kami tengah berupaya mengurangi penumpukan beras di penggilingan dengan mencari pasar. Ini mungkin solusi yang harus dilakukan supaya hasil beras Cirebon tidak hanya mengandalkan pasar induk Cipinang,"ujar Ali.

Selama ini ketergantungan dengan pasar Induk Cipinang Jakarta membuat penjualan beras rentan terganggu sehingga perlu adanya daerah penampung selain Jakarta supaya usaha penggilingan beras tetap berjalan meski ditolak Jakarta.

Bupati Cirebon Dedi Supardi berharap kondisi yang dihadapi pengusaha penggilingan beras dan petani dapat pulih kembali seperti semula.

"Saya mengetahui kondisi itu. Kami sedang mengupayakan agar pengusaha beras bisa berjalan lagi dengan menjual berasnya bukan hanya ke Cipinang,Mudah-mudahan kondisi ini cepat pulih lagi," ujar Dedi.

Masalah yang dihadapi usaha penggilingan beras dan pengusaha beras berawal ketika Polda Metro Jaya melakukan razia terhadap peredaran beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, beberapa waktu lalu. (k41)

Bisnis Indonesia