Senin, 05 November 2007

CITIGROUP JUGA GAGAL

Tajuk
Selasa, 06/11/2007
Citigroup juga gagal
Citigroup dan Merrill Lynch yang dikenal sebagai perusahaan dengan perangkat hukum yang kuat, dana tak terbatas, wilayah operasi yang mahaluas, kelembagaan yang kokoh, sistem kerja yang profesional, serta sumber daya manusia yang sangat mumpuni, kini oleng dihantam krisis.

Bisnis Citigroup di Indonesia termasuk yang berhasil. Profesional Indonesia sangat bangga jika dapat diterima bekerja di Citibank-divisi perbankan Citigroup-apalagi jika mampu masuk dalam jajaran dewan direksinya. Alumni Citibank, alias bekas pejabat di bank itu, memiliki nilai tawar yang tinggi di pasar tenaga profesional papan atas. Nama besar Citibank adalah jaminan mutu.

Akan tetapi apa yang menimpa Citigroup belakangan ini menunjukkan bahwa macetnya kredit perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) dalam jumlah sangat besar, telah memakan korban. Laporan kinerja Citigroup, Merrill Lynch, dan nama-nama besar lainnya yang mungkin menyusul, dipenuhi angka-angka merah.

Citigroup, bank dengan aset terbesar di AS, mengalami kerugian US$6,5 miliar pada kuartal III 2007. Sebelumnya, pada awal Oktober, perusahaan itu mengumumkan penghapusbukuan kredit macet US$5,9 miliar! Nilai sahamnya di Wall Street pun anjlok, sampai 20%. Sementara itu, Merrill Lynch, raksasa keuangan lainnya, juga melakukan penghapusbukuan besar-besaran kredit macetnya dengan US$8,4 miliar. Pendapatannya merosot, begitu pula harga sahamnya.

Para pengamat mempertanyakan kegagalan kedua perusahaan itu, dan juga otoritas finansial AS, dalam mendeteksi kemungkinan krisis akibat kredit macet pada sektor pinjaman perumahan. Kredit properti itu digelontorkan dalam jumlah gila-gilaan oleh hampir semua perusahaan keuangan AS.

Akan tetapi ada faktor-faktor lain yang ditengarai turut menyumbang pada negatifnya kinerja Citigroup ataupun Merrill yakni arus informasi internal yang tak berjalan dengan mulus di antara anggota dewan direksi, hengkangnya tenaga-tenaga andal, praktik-praktik manajemen yang seperti tidak memperhitungkan risiko alias main tabrak, serta biaya operasi yang terus membengkak.

Bisnis mereka juga semakin tidak fokus karena begitu banyak yang digarap. Citigroup, yang terjun ke bisnis bank komersial, pialang, bank investasi, dan kartu kredit, dikenal sebagai supermarket finansial global.

Selain itu, korporasi AS sering dikritik karena membayar eksekutifnya secara berlebihan. CEO Citigroup Charles Prince III, misalnya, mengundurkan diri dengan insentif senilai US$105,2 juta (Rp1 triliun lebih) dalam bentuk tunai dan saham. Ini belum termasuk bayaran yang diterimanya, sebanyak US$53,1 juta, selama empat tahun dia memimpin.

Citigroup berupaya meredam krisis yang dialaminya dengan mengangkat Robert Rubin, mantan menkeu AS, sebagai presiden direktur yang baru. Rubin memiliki reputasi yang istimewa di dunia perbankan dan finansial AS.

Mampukah Rubin menenangkan pasar, waktu lah yang akan menjawabnya. Yang jelas, kasus Citigroup ataupun Merrill Lynch-sebelumnya Enron dan Worldcom-menunjukkan tidak ada yang kebal terhadap krisis, seberapa pun besar kekayaan sebuah institusi, kalau tata kelola perusahaan yang baik dan prinsip kehati-hatian tidak dilaksanakan sepenuhnya.

Jika raksasa-raksasa keuangan global itu tak mampu mengatasi krisis yang mereka alami, bukan tak mungkin perekonomian AS ikut terjerembab. Jika ini yang terjadi, sungguh bukan komposisi yang pas bagi dunia yang sedang was-was terhadap harga minyak mentah yang terus meroket.

Tidak ada komentar: