Kamis, 01 November 2007

HARGA MINYAK & REKAAN PEREKONOMIAN MASA DEPAN

Halaman Depan
Kamis, 01/11/2007
Harga minyak & rekaan perekonomian masa depan
Belum lama ini, seorang kawan yang juga pengusaha menghampiri saya dengan raut wajah yang membersitkan kecemasaan eksistensial.

Dia menyampaikan pernyataan terdahsyat yang saya dengar hari itu: "Harga minyak dunia akan mencapai US$100 per barel, perekonomian kita bakal mengalami krisis dan negara ini sedang menuju pada kegagalan. Bagaimana mungkin perekonomian kita bisa bergerak dengan harga input semahal itu?"

Selama hampir lima tahun menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, saya cenderung peka terhadap munculnya skenario seperti itu.

Ciri pasar keuangan adalah overshooting, karena informasi yang asimetrik antarpara pelakunya. Jika ditambah dengan doomsday scenario, volatilitas di pasar akan lebih besar dari seharusnya, dan itu mengundang kegiatan spekulatif.

Kegiatan itu disukai oleh sebagian pelaku pasar, tetapi tidak oleh bank sentral. Saya sedianya ingin berdebat dengan sang kawan, tapi pada hari itu kawan saya tampaknya lebih membutuhkan telinga yang bersimpati.

Setelah kawan itu pergi, saya merenungkan keabsahan pernyataannya yang dahsyat itu. Akankah kita mengalami krisis ekonomi bila harga minyak mencapai US$100? Bila krisis kita artikan sebagai stagflasi, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 0% dan laju inflasi dua digit, saya sangat tidak yakin itu akan terjadi.

Bahkan saya pun sangat meragukan pendapat yang mengatakan bahwa ekspansi pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung saat ini akan mengalami pembalikan dan laju inflasi akan dua digit.

Skenario baseline proyeksi kami di Bank Indonesia melihat bahwa jika harga minyak meningkat tajam, yang akan terjadi adalah ekspansi ekonomi dan proses disinflasi yang masih dapat berlanjut, tetapi trayektorinya sedikit tertahan.

Apa yang melatarbelakangi keyakinan saya ini adalah Pemerintah dan BI bukanlah aktor yang pasif dalam menyikapi dinamika dalam perekonomian.

Pemerintah pusat akan mempercepat konversi minyak tanah ke gas, mengoptimalkan produksi minyak mentah, menggiatkan pengembangan energi alternatif dan memastikan konsumsi BBM tidak meningkat karena penimbunan dan penyelundupan.

Pemerintah pusat dan daerah juga akan berkoordinasi meningkatkan pembelanjaan modal untuk infrastruktur dan social spending guna optimalisasi pemanfaatan dana bagi hasil (DBH).

Saya juga melihat sebuah skenario yang lebih optimistis dimana akan muncul berbagai kebijakan terobosan tentang burden sharing antara pemerintah pusat dan daerah terutama terkait dengan kenaikan DBH.

Aktivitas-aktivitas fiskal tadi akan menimbulkan dinamika positif pada kegiatan swasta dan mempertahankan daya beli masyarakat, sehingga industri perbankan yang pada hakikatnya selalu follow the trade, akan tetap yakin dalam melakukan fungsi intermediasinya.

Di akhir hari memang respons natural dari kebijakan kita secara nasional perlu berbeda-beda, tetapi tetap dalam keterpaduan.

Saat ini, pemda dituntut untuk lebih bermanfaat bagi rakyatnya, sementara itu pemerintah pusat perlu mendukungnya melalui program peningkatan kapasitas dan fungsi ekonomi pemda.

Masalah kemampuan pemda untuk melakukan fungsi ekonomi secara profesional saat ini memang kerap menjadi sorotan. Perbaikan profesionalitas pengelolaan perekonomian daerah tampaknya perlu segera mendapat penanganan serius.

Dengan demikian agak sulit bagi saya untuk menerima doomsday scenario dari kawan tadi. Apalagi jika saya kemudian melihat bahwa pertama, struktur neraca pembayaran kita ke depan tampaknya akan cukup kuat untuk beradaptasi di pasar energi dunia.

Dan kedua, sistem keuangan termasuk perbankan, saat ini sudah lebih siap dan berdaya-tahan dalam menghadapi gejolak.

Bersiap diri

Namun, saya pun melihat mutiara hikmah yang terpendam di balik kecemasannya. Hikmah itu berupa nasihat agar seluruh pemangku kebijakan senantiasa bersiap diri untuk menghadapi keadaan terburuk sembari berharap yang terbaik.

Ini mengingatkan saya pada sebuah rumusan filsafat etika yang disampaikan oleh Hans Jonas, filsuf tradisi Jerman, tentang 'prinsip tanggung jawab masa depan'. Prinsip ini secara singkat saja mengatakan bahwa 'kita perlu selalu bertindak sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakan kita itu selaras dengan pemeliharaan kelestarian kehidupan manusia di dunia'.

Kata 'kelestarian' di atas membuat saya terhenyak sejenak. Sepertinya ada sesuatu yang lebih halus (subtle) dalam kerisauan kawan saya tadi, terutama karena dia menyinggung-nyinggung tentang kegagalan negara.

Pernah saya baca tulisan bahwa cikal bakal negara yang kelestariannya terputus, adalah karena ketidakmampuannya menyediakan kebaikan-kebaikan politik (political goods) secara fair dan layak bagi rakyat yang memberi legitimasi padanya (I. Rotberg, 2002, "The New Nature of Nation State Failure", The Washington Quarterly).

Political goods itu terdiri dari adanya rasa aman, tersedianya prasarana yang cukup dan bermutu mencakup pendidikan dan layanan kesehatan umum, kesempatan ekonomi yang terbuka, infrastruktur transportasi, dan sistem hukum yang disepakati bersama serta ditegakkan secara adil.

Tanpa itu semua, akan muncul konsekuensi dari tesis Thomas Hobbes bahwa tanpa kontrak sosial yang syarat dan kondisinya dipenuhi oleh negara, akan muncul hutan belantara yang dipenuhi oleh para pemangsa. Ini menyiratkan bahwa hakikat kelestarian negara adalah tumbuhnya kemaslahatan sosial yang merata.

Sampai di titik itu saya berhenti merenung. Negara tidak bisa dysfunctional karena taruhannya adalah kelestarian kehidupan manusia di muka bumi.

Sebagai bagian dari negara, BI akan tetap berupaya keras dengan objektivitas dan profesionalitas yang dimilikinya, dan dengan semangat nonpartisan, memastikan bahwa negara memberi manfaat fungsional bagi pemilik hakikinya, yaitu seluruh rakyat Indonesia.

Oleh Burhanuddin Abdullah
Gubernur Bank Indonesia

Tidak ada komentar: