Senin, 19 November 2007

INTEGRASI EKONOMI ASEAN, SIAPA PALING DIUNTUNGKAN?

Umum
Selasa, 20/11/2007
Integrasi ekonomi Asean, siapa paling diuntungkan?
Denis Hew, peneliti di Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, pernah mengatakan dalam satu publikasinya pada Juni 2003 bahwa pembentukan Komunitas Ekonomi Asean (Asean Economic Community/AEC) perlu dilakukan secara bertahap.

Menurut dia, sebaiknya diupayakan dulu Asean Free Trade Area/AFTA-Plus. Artinya, kawasan perdagangan bebas Asean yang sudah diimplementasikan sejak 2003, diperluas cakupannya sehingga meliputi liberalisasi arus modal dan tenaga kerja sekaligus.

Selain itu, karena kenyataan bahwa tak semua negara anggota Asean memiliki kemampuan ekonomi yang relatif setara, maka liberalisasi menuju AEC perlu dimotori lebih dulu oleh enam negara, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, dan Brunei.

Sementara itu, Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar dilibatkan di kemudian hari setelah segala sesuatunya mantap dan memadai. Masih relevankah pendapat Denis Hew?

Sesuai dengan kesepakatan terakhir, pembentukan AEC yang awalnya diusulkan PM Singapura (waktu itu) Goh Chok Tong dalam KTT Asean di Phnom Penh, Kamboja, pada 4 November 2002 tersebut, dijadwalkan terealisasi pada 2015.

Hari ini, AEC Blueprint akan dideklarasikan dalam rangkaian KTT ke-13 Asean di Singapura. Momentum ini menandai optimisme para pemimpin negara anggota Asean terkait dengan pembentukan komunitas ekonomi kawasan, yang lagi-lagi mirip dengan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa beberapa tahun lalu.

Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu, yang selama ini terlibat aktif dalam konseptualisasi AEC Blueprint, belum lama ini mengatakan cetak biru itu merupakan dokumen yang sangat penting untuk menuntun semua negara anggota Asean mewujudkan sebuah komunitas ekonomi pada 2015.

Menurut dia, cetak biru tersebut akan menuntun proses pembentukan kebijakan di semua negara anggota Asean agar kebijakan nasional dapat bersinergi dengan komitmen regional.

AEC merupakan satu dari tiga pilar perwujudan Asean Vision 2020. Dua pilar lainnya adalah Asean Security Community dan Asean Socio-Cultural Community.

Berdasarkan kesepakatan dalam KTT Asean di Cebu, Filipina, Januari lalu, pencapaian integrasi ekonomi melalui AEC akan dipercepat dari 2020 menjadi 2015. Untuk mewujudkan AEC yang dipercepat tersebut, disusunlah AEC Blueprint yang mencakup karakteristik, elemen, rencana aksi prioritas, target dan jadwal pencapaiannya.

Cetak biru tersebut memuat empat kerangka utama AEC, yaitu single market and production base, competitive economic region, equitable economic development, serta full integration into global economy.

Dengan pendeklarasian AEC Blueprint, 10 negara anggota Asean harus mengharmonisasikan kebijakan ekonominya, khususnya terkait dengan kebijakan perdagangan dan jasa, kebijakan investasi serta kebijakan ketenagakerjaan yang mengacu pada cetak biru itu.

Tentu saja akan banyak kendala, lebih-lebih yang terkait kebijakan bea cukai. Denis Hew sejak awal mengisyaratkan sulitnya kebijakan bea cukai setiap negara anggota Asean untuk menghapus hambatan perdagangan dan sejenisnya.

Siapa paling untung?

Integrasi perekonomian regional ala AEC yang sedang diupayakan tersebut sesungguhnya merupakan sesuatu yang wajar. Uni Eropa niscaya merupakan contoh paling spektakuler tentang regionalisme perekonomian. Kawasan itu bahkan telah punya mata uang bersama, euro.

Pertanyaannya kemudian adalah, siapa paling diuntungkan dengan proyek besar pembentukan AEC, khususnya di rangkaian tahapannya?

Di tingkat ide, integrasi perekonomian Asean yang direkatkan oleh tema liberalisasi kawasan tentu bakal menawarkan aneka peluang dan sekaligus tantangan bagi masing-masing anggota Asean.

Persoalan bakal muncul dan berpotensi mementahkan pembentukan AEC bila di rangkaian tahapannya beberapa negara merasa tidak mendapat manfaat maksimal atau merasa cenderung dirugikan.

Problem ini mengandaikan, laju pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran antarnegara anggota Asean tetap njomplang. Atau yang lebih mengkhawatirkan bila justru ada negara yang dengan mengikuti tahapan-tahapan pembentukan AEC merasa malah dirugikan. Pada titik ini, agenda pembentukan AEC bisa berantakan.

Tenggat 2015 memang relatif masih lama. Namun, bergulirnya waktu bisa terasa makin cepat, apalagi bila tekanan ekonomi global kian memaksa berbagai negara melakukan penyesuaian baru, terutama dalam kebijakan perekonomiannya. Melambungnya harga minyak bumi beberapa waktu terakhir adalah contoh nyata.

Akhirnya, harus diakui bahwa Cetak Biru Komunitas Ekonomi Asean sampai sejauh ini masih merupakan sebentuk konsep yang ideal di tingkat ide, tapi tampaknya bakal menemui aneka hambatan yang tak kalah sengit dan pelik dibandingkan dengan hambatan perdagangan itu sendiri.(tomy.sasangka@bisnis.co.id)

Oleh Tomy Sasangka
Wartawan Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: