Rabu, 14 November 2007

MENGUKUR EFISIENSI MIGAS DENGAN PROFIT MARGIN

Pertambangan
Kamis, 15/11/2007
Mengukur efisiensi migas dengan profit margin
Momentum tingginya harga minyak mentah dunia saat ini merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi migas.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu memperbaiki aspek regulasi sebagai upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif serta kepastian berusaha.

Di samping itu, perlu meningkatkan insentif untuk investasi di daerah terpencil, mening- katkan cadangan marginal dan memacu perolehan minyak dari pengembangan sumur tua.

Terhadap kendala investasi seperti tumpang tindih lahan dan peraturan daerah yang tidak sejalan, pemerintah perlu meningkatkan konsultasi dan koordinasi, sehingga semua pihak mendapat manfaat dari investasi migas.

Langkah tadi mendesak dilakukan, karena belakangan ini terjadi perdebatan mengenai

efisiensi pengusahaan di sektor hulu migas. Banyak pihak berkomentar usaha hulu migas di Indonesia tidak efisien.

Indikasinya a.l. tingginya cost recovery (pengembalian biaya dari pemerintah kepada kontraktor yang mendapatkan hasil migas).

Realisasi dan target produksi minyak + kondensat (barel)
TahunVolume
20061,007 juta
20071,050 juta*
20081,088 juta*
20091,300 juta*
Sumber: BP Migas diolah.
Ket. * target

Selain itu, terlalu besar dana hasil pengelolaan migas yang menjadi bagian KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), khususnya perusahaan asing.

Untuk melihat efisiensi industri hulu migas di Indonesia, perlu dicermati beberapa hal yang terkait seperti porsi bagi hasil, struktur biaya (profit margin) dan perbandingan biaya dengan negara-negara lain.

Bagi hasil merupakan istilah yang menunjukkan pengaturan alokasi bagian penerimaan antara pemerintah dan perusahaan migas. Alokasi bagi hasil migas suatu negara dikatakan ketat, apabila porsi bagian pemerintah tinggi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menegaskan pola bagi hasil pengusahaan migas mengandung unsur risiko yang ditanggung investor. Sebab, seluruh dana investasi pengembangan migas disediakan investor.

Jika berhasil mendapatkan migas, dibagi antara negara dan investor dengan seluruh biaya operasi dikembalikan. Jika gagal mendapatkan migas, maka negara tidak ikut menanggung biaya operasi.

Di kalangan pelaku bisnis migas internasional sebenarnya Indonesia dipandang memiliki alokasi bagi hasil yang ketat.

Pakar ekonomi internasional Joseph E. Stiglitz menyebutkan porsi pemerintah dalam bagi hasil migas terbilang tinggi.

Jatah pemerintah tadi hanya berbeda tipis dari negara produsen migas dunia lainnya a.l. Libya, Venezuela dan Iran. (Escaping the Resource Curse 2007).

Ukuran lain yang perlu dilihat untuk menilai efisiensi suatu industri migas adalah profit margin. Komentar yang banyak muncul belakangan ini menyebutkan cost recovery di Indonesia sangat tinggi.

Menurut Purnomo, kegiatan eksplorasi migas membutuhkan peralatan seperti anjungan migas dan sumber daya manusia yang andal. Anjungan-anjungan (rig) tidak mudah didapat saat ini karena banyaknya permintaan di berbagai kawasan-sejalan naiknya harga minyak--sehingga harga sewanya menjadi naik.

Demikian pula tenaga kerja migas. Saat ini Sumber daya manusia sektor ini banyak dibutuhkan, sementara jumlah tenaga yang andal relatif terbatas. "Hal itu menyebabkan nilai cost recovery meningkat. Tetapi penerimaan negara dari sektor migas juga naik," ujar Purnomo.

Sejalan revenue

Secara logika ekomomi, efisiensi suatu bisnis tidak ditentukan semata-semata oleh besar- an biaya.

Biaya yang terjadi dapat saja sangat tinggi selama menghasilkan revenue yang tinggi pula. Jadi, struktur biaya nampaknya bisa menjadi ukuran yang lebih logis.

Sebagai contoh, pada 2005 angka cost recoverable migas di Indonesia US$8,1 miliar, tapi gross revenue yang dihasilkannya US$36,3 miliar. Dengan demikian, persentase cost recoverable mencapai 22% atau profit margin sebesar 78%. Persentase cost recoverable menunjukkan kecenderungan menu- run dalam 5 tahun terakhir.

Memang benar secara nominal terjadi kenaikan angka cost recoverable. Namun, hal itu mengikuti logika ekonomi, di mana kenaikan harga hasil produksi pasti mendorong kenaikan biaya.

Secara logika bisnis dapat dikatakan, angka profit margin sebesar 78% dalam industri hulu migas Indonesia merupakan keuntungan yang tinggi.

Rata-rata untuk seluruh KKKS biaya per barel ongkos produksi adalah US$5,11 dan biaya operasi (cost recoverable) sebesar US$9,10.

Bila dibandingkan dengan operasi perusahaan migas lainnya, operasi KKKS di Indonesia relatif efisien. Biaya operasi beberapa perusahaan migas terkemuka seperti Shell, Chevron, ConocoPhillips, ExxonMobil dan BP berada di atas US$10 per barel equivalent.

Untuk rata-rata dunia, angka biaya operasi per barel hampir mencapai US$16. Sebab negara produsen minyak seperti Angola, China, Rusia, AS dan Kanada memiliki biaya operasi per barel di atas Indonesia.

Jadi, dilihat dari alokasi bagi hasil yang diterapkan, tingkat profit margin serta perbandingan biaya, dapat dikatakan pengusahaan hulu migas Indonesia relatif efisien.

Cost recovery yang terjadi memang relatif tinggi, tetapi hal itu tidak dengan sendirinya menunjukkan inefisiensi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR-yang membawahi sektor energi dan sumber daya mi-neral-Sutan Bhatoegana malah menilai angka cost recovery migas di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain.

"Karena pengeluaran cost recovery tidak saja digunakan untuk pengelolaan produksi minyak, tetapi juga gas. Sedangkan produksi gas akhir-akhir ini menunjukan pening- katan yang cukup baik," tegasnya.

Meski demikian, upaya menekan cost recovery masih mungkin dilakukan. Caranya antara lain dengan meningkatkan efisiensi operasi perusahaan migas secara menyeluruh. (ismail.fahmi@bisnis.co.id)

Oleh Ismail Fahmi
Wartawan Bisnis Indonesia


Tidak ada komentar: