Rabu, 14 November 2007

MELAWAN PENGANGGURAN DENGAN GEROBAK BAKSO

Opini
Kamis, 15/11/2007
Melawan pengangguran dengan gerobak bakso
Kening Anda mungkin langsung berkerut ketika membaca judul artikel yang agak aneh ini. Bahkan, bisa jadi Anda langsung mencibir. Mi bakso? Tak adakah gagasan serupa yang lebih keren terdengar serta lebih modern, ilmiah, dan sedikit berbau globalisasi?

Penulis justru berpikiran sebaliknya. Mi bakso yang terdengar biasa-biasa saja dan identik dengan makanan orang kebanyakan, sejatinya memiliki potensi ekonomi yang amat dahsyat.

Tak cuma itu mi bakso juga lebih membumi, mengakar, dan sangat akrab dengan masyarakat Indonesia, dari perkotaan sampai perdesaan. Mi bakso pun termasuk jenis penganan yang tak kenal ruang. Ia bisa hadir di mana saja; mal, kafe, kaki lima, sampai pedagang keliling.

Selama ini memang tak banyak yang tahu jika populasi pedagang mi bakso luar biasa besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Paguyuban Pedagang Mi dan Bakso Megapolitan Indonesia (Paguyuban Miso Indonesia), pada 2006, dari 48,9 juta usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia, 20 % atau sekitar 10 juta di antaranya adalah pedagang mi bakso.

Jika 60 % saja yang aktif, berarti di negeri ini ada sekitar 6 juta pedagang mi bakso. Taruhlah mereka memiliki seorang isteri dan seorang anak, berarti terdapat 18 juta orang yang hidupnya bergantung pada mi bakso.

Bila setiap pedagang minimal menjual 25 mangkok per hari dengan harga Rp2.500 per mangkok, dalam sehari terjadi perputaran uang sebesar Rp375 miliar. Dalam sebulan, berarti omzet pedagang mi bakso mencapai Rp11,2 triliun.

Tentu saja itu belum termasuk penyerapan tenaga kerja dan omzet penjualan industri ikutannya. Soalnya, dari usaha mi bakso bisa tercipta 32 usaha turunannya, seperti usaha sapi potong, kulit sapi, pupuk organik, ladang rumput sapi, dan sebagainya. Dari usaha mi bakso juga ada usaha lain, yakni berjualan minuman.

Itu baru dalam hitung-hitungan konservatif dari segi ekonomi. Jika jumlah, kualitas, dan produktivitas para pedagang bakso bisa ditingkatkan, out put yang dihasilkan mereka tentu bisa lebih "dahsyat" lagi. Begitu pula dengan 32 usaha turunannya.

Menjanjikan

Bila jumlah pedagang mi bakso yang aktif bertambah 10 % per tahun, berarti akan terjadi penambahan jumlah mereka sebanyak 600.000 orang per tahun. Dalam dua tahun saja, jumlah pedagang mi bakso bakal bertambah 1,2 juta orang. Sebanyak 32 usaha turunannya sudah pasti akan ikut panen. Sebuah penyerapan tenaga kerja yang luar biasa besar dan bisa membantu mengurangi jumlah pengangguran di negeri ini.

Singkat kata, mi bakso merupakan mata pencaharian yang menjanjikan. Apalagi jika dikaitkan dengan pola konsumsi serta kondisi sosial budaya masyarakat di negeri ini. Masyarakat Indonesia tercatat sebagai penyantap mi terbanyak ketiga di dunia setelah RRC dan Jepang.

Itu berarti, mi bakso bisa dijadikan model penanggulangan pengangguran di Tanah Air. Maka tak ada alasan secuil pun untuk memandang sebelah mata jenis usaha yang satu ini.

Pemerintah tentu saja menyadari betul potensi ekonomi dan lapangan kerja yang tercipta dari gerobak mi bakso. Atas dasar itu pula Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menjadikan pedagang mi bakso sebagai salah satu fokus program bantuan pembinaan dan penciptaan UKM. Pembinaan dan pemberdayaan terhadap para pedagang mi bakso antara lain dilakukan melalui Balai Latihan Kerja (BLK).

Yang pasti, langkah ini selaras betul dengan program three in one yang dideklarasikan Depnakertrans dalam Rapimnas KADIN Indonesia Maret lalu sebagai upaya mengatasi lonjakan jumlah pengangguran. Program Three in One ini terdiri atas training (pelatihan), sertifikasi, dan penempatan.

Untuk mewujudkan program ini, Depnakertrans telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Dinas Pendidikan Nasional, Kantor Menegpora, Kementerian Koperasi dan UKM, serta KADIN Indonesia.

Prinsip dasar program itu adalah meningkatkan kadar kompetensi penganggur melalui pelatihan atau training di BLK-BLK yang tersebar di setiap daerah tingkat II (Kabupaten/Kota). Dana pelatihan bisa diambil dari APBN atau APBD, sedangkan sertifikasi berpedoman pada standar kompetensi yang dicapai serta korelasi dengan potensi sumber daya alam setempat.

Dalam konteks lebih luas, pemberdayaan para pedagang mi bakso juga sejalan dengan program pemerintah mendorong pengembangan koperasi usaha kecil dan menengah (KUKM), baik melalui relaksasi kredit perbankan maupun melalui pembinaan langsung.

Bahkan, pemerintah berencana meluncurkan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB). Lembaga ini dibentuk secara khusus untuk mengoptimalkan penyaluran dan pengawasan kredit untuk KUKM.

Di tengah sulitnya menekan angka pengangguran dewasa ini dan banyaknya pekerja industri manufaktur yang di-PHK serta upaya mengenjot pengiriman TKI keluar negeri, pemberdayaan KUKM memang mutlak diperlukan. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan sumbangsih UKM terhadap perekonomian nasional.

Berdasarkan data BPS, nilai produk domestik brutto (PDB) UKM pada 2006 berdasarkan harga berlaku mencapai Rp287,7 triliun atau naik 19,3 % dari Rp1.491, 1 triliun pada 2005 menjadi Rp1.778,7 triliun.

Konstribusi UKM dalam penciptaan nilai tambah nasional mencapai Rp1.778,75 triliun atau 53,3 % dari PDB nasional yang tumbuh 5,5 %. Berdasarkan skala usaha, konstribusi usaha kecil mencapai 37,7 %, usaha menengah 15,6%, dan usaha besar 46,7 %. Dari total pertumbuhan pada tahun 2006, usaha kecil menyumbang 2,2% dan usaha besar 2,4 %.

Pada 2006, jumlah populasi UKM mencapai 48,9 juta unit, meningkat 3,9 % dari tahun sebelumnya atau mencapai 99,98% terhadap total unit usaha di Indonesia.

Untuk konstribusi penyerapan tenaga kerja, usaha kecil menyerap 80,9 juta pekerja dan usaha menengah 4,5 juta pekerja. Jika ditotalkan dari jumlah pekerja berdasarkan semua skala, UKM menyerap 96,18 % dari seluruh tenaga kerja Indonesia. Jumlah itu naik 2,2 juta pekerja setara 2,6 % dibandingkan tahun 2005.

Sektor UKM yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah pertanian 38,8 juta pekerja atau 43,66 % dari total tenaga kerja, sektor perdagangan, hotel dan restoran 22, 2 juta pekerja atau 24,98 %, serta sektor jasa-jasa 9,4 juta pekerja atau 10,59 %.

Menilik angka-angka tersebut, sungguh beralasan jika kini pemerintah menjadikan UKM sebagai panglima dalam memerangi pengangguran dan kemiskinan. Dan, itu berarti, gerobak mi bakso kini tak bisa lagi dipandang sebelah mata.

Oleh Erman Suparno
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Ketua Pembina Pedagang Mi Bakso se-Indonesia.

Tidak ada komentar: