Senin, 04 Agustus 2008

Saatnya investasi di surat utang

Halaman Depan
Selasa, 05/08/2008
Saatnya investasi di surat utang
Pada Juni lalu saya menulis artikel di Bisnis Indonesia mengenai prediksi analis energi bahwa harga minyak dunia akan anjlok setelah naik tajam. Sejak itu harga minyak (NYMX WTI) melejit dari US$135 ke US$147, sebelum anjlok ke level US$123 per barel dalam waktu dua minggu.

Saya berpendapat bahwa dengan turunnya harga minyak, harga komoditas energi lainnya akan ikut turun. Harga batu bara (ICE Rotterdam) pun turun dari US$224 ke US$188 per metric ton, sementara harga gas alam turun dari US$13,5 ke US$9,2 per MMBTU pada Juli.

Para analis yang memprediksi turunnya harga energi bukanlah peramal hebat. Mereka hanya mengutarakan logika ekonomi, di mana sewaktu Amerika Serikat mengalami resesi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dunia melambat-akibatnya pertumbuhan konsumsi energi dunia ikut melambat-semestinya harga energi turun, bukan sebaliknya.

Memang, harga komoditas, terutama energi, sempat naik tajam karena investor internasional pesimistis berinvestasi di pasar finansial. Pesimisme ini disebabkan anjloknya pasar saham dunia sejak krisis kredit pemilikan rumah subprime memicu krisis perbankan AS pada triwulan III/2007. Akibatnya, investor menarik dana dari pasar saham dan menginvestasikannya di pasar komoditas seperti minyak, batu bara, dan emas.

Di mata investor, kenaikan harga komoditas dianggap mampu melebihi inflasi. Tetapi aksi investor dan spekulator ini justru memicu kenaikan harga komoditas dan inflasi serta memperpuruk harga saham.

Tanpa membaliknya kepercayaan investor terhadap pasar finansial, bursa saham dunia akan terus terpuruk. Sejak awal 2008, indeks bursa saham New York telah anjlok 14%, London 17%, Tokyo 13%, Jakarta 17% dan Shanghai 46%.

Setiap kali saya bertemu investor dalam sembilan bulan terakhir, mereka mengeluh telah rugi besar, pasrah, takut cut loss (menjual saham di bawah harga beli), marah atau berdoa untuk intervensi Tuhan.

Saya belum pernah melihat kepanikan investor separah ini sejak anjloknya bursa saham paska penyerangan teroris ke World Trade Center, New York, pada 11 September 2001.

Krisis pasar saham 2008 dipicu oleh krisis perbankan dan resesi ekonomi AS. Krisis perbankan disebabkan penunggakan KPR karena bank sentral AS (Federal Reserve) menaikkan suku bunga Fed Funds target rate (FFTR) dari 1,0% ke 5,25% selama 2004-2006.

Menurut International Monetary Fund, penunggakan ini dapat menimbulkan kerugian di perbankan US$950 miliar atau 7% dari besaran ekonomi (produk domestik bruto) AS. Kerugian ini memicu krisis likuiditas antarbank dan anjloknya harga saham perbankan AS, seperti Citibank yang anjlok lebih dari 70%.

Masalahnya tidak selesai di sini. Kenaikan suku bunga dan anjloknya harga rumah karena besarnya tunggakan KPR, rakyat AS pun mengerem konsumsinya. Padahal konsumsi masyarakat menggerakkan 70% dari PDB AS.

Keadaan ini diperburuk dengan kenaikan harga minyak dan energi serta melambatnya konsumsi masyarakat yang menyebabkan resesi ekonomi. Kondisi ini mengurangi keuntungan sektor korporasi. Kondisi tersebut lalu memukul bursa saham AS dan memicu anjloknya bursa saham dunia, yang diperburuk oleh keluarnya dana investor dari pasar saham ke pasar komoditas. Lengkap sudah krisis ekonomi AS.

Krisis finansial AS ibarat bola salju yang hanya bisa direm dengan beberapa syarat. Pertama, dampak krisis perbankan AS harus segera dibatasi. Kedua, keterpurukan sektor properti AS harus dibatasi. Ketiga, kepercayaan investor terhadap pasar finansial harus pulih. Keempat, harga minyak harus turun.

Menghadapi krisis ini, Federal Reserve bertindak cepat dengan memangkas FFTR ke level 2,0%, menyelamatkan perusahaan sekuritas Bear Sterns yang hampir bangkrut dan memberi pinjaman ke bank yang kesulitan likuiditas.

Depkeu AS menyelamatkan dua perusahaan raksasa (Fannie Mae dan Freddie Mac) yang membiayai atau menjamin hampir separuh total KPR sekitar US$11 triliun. Perbankan menghapusbukukan kerugian US$470 miliar. Walaupun kebijakan ini tidak memberhentikan turunnya harga rumah, bank mulai bisa bernapas.

Angin segar datang dengan turunnya harga minyak. Karena harga minyak naik terlalu cepat, maka harganya turun tajam pula setelah spekulator menarik keuntungan dengan melakukan aksi jual. Selain logika ekonomi, alasan turunnya harga minyak adalah mengecilnya kemungkinan AS atau Israel menyerang Iran, penghasil 5% produksi minyak dunia, karena dianggap membuat senjata nuklir secara ilegal.

Menurut analis politik, dengan dominasi partai Demokrat di kongres AS, kemungkinan presiden Bush menyerang Iran semakin kecil. Menteri pertahanan dan panglima angkatan bersenjata AS yang dilantik sejak partai Demokrat menguasai kongres pada 2006, secara terbuka juga tidak setuju dengan penyerangan Iran.

Untuk sementara, kemungkinan konflik di Timur Tengah mengecil dan ini mendukung turunnya harga minyak, yang menurut survei Bloomberg dapat menyentuh US$114 akhir 2008.

Larinya dana investasi

Pasar saham dunia akan pulih jika pasar AS pulih, yang diperkirakan terjadi pada triwulan IV/2008, setelah pemilihan presiden dan arah pertumbuhan ekonomi AS 2009 mulai jelas.

Kebijakan Federal Reserve dan Depkeu AS untuk meredam krisis perbankan memperkuat kredibilitas mereka. Sementara keputusan perbankan untuk menghapusbukukan kerugian subprime menunjukkan transparansi yang disukai investor. Berbagai tindakan ini saja tidak cukup untuk menggerakan dana investor dari pasar komoditas kembali ke pasar finansial.

Pemicu penarikan dana dari pasar komoditas adalah anjloknya harga minyak. Dana ratusan miliar dolar yang keluar dari pasar komoditas ini mencari investasi baru. Pasar saham dunia masih rentan. Yang paling menjanjikan adalah pasar surat utang, terutama surat utang negara (SUN) yang risikonya paling kecil.

Indikasinya jelas, karena imbal-hasil (suku bunga) SUN dalam mata uang lokal di beberapa negara turun pesat harga SUN-nya naik dalam beberapa minggu terakhir. Di pasar SUN berjangka 5 tahun saja, pada Juli imbal hasil SUN Brasil turun dari 15% ke 14%, Turki dari 22,5% ke 18,7% dan Indonesia dari 13% ke 11,5%.

Berdasarkan skenario ini, investor disarankan tidak membeli komoditas, terutama energi, karena harganya diperkirakan turun terus. Investor sangat disarankan membeli dan meningkatkan portofolio SUN rupiah (atau dalam real Brasil dan lira Turki) ke 30% dalam satu-dua bulan ke depan.

Dari tiga negara ini, SUN Indonesia-lah yang paling menarik karena negara yang suku bunganya tinggi tetapi memiliki surplus neraca transaksi berjalan, artinya kemungkinan besar rupiah bisa stabil bahkan berpotensi menguat. Brasil, India, Turki, Pakistan dan Vietnam semua mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang membatasi suport untuk mata uangnya.

Oleh Fauzi Ichsan
Senior Vice President Standard Chartered Bank

Tidak ada komentar: