Senin, 04 Agustus 2008

Perusahaan keluarga butuh profesional

Perusahaan keluarga butuh profesional
Sebagian perusahaan keluarga merasakan, profesionalisme merupakan upaya untuk berkembang. Profesionalisme mewajibkan anggota organisasi untuk bertindak secara profesional dalam manajemen, tingkah laku, kepemimpinan, pengumpulan informasi bisnis, akuntabilitas, kompetensi sumber daya manusia dan seterusnya.

Hasil survei The Jakarta Consulting Group terhadap 43 profesional yang bekerja di perusahaan keluarga kelas menengah ke atas di Indonesia menunjukkan sepertiga perusahaan keluarga kurang memberikan otoritas dalam mengambil keputusan strategis bagi perusahaan. Keterbatasan wewenang yang sedikit lebih longgar (28%) diberikan untuk membuat perencanaan strategis. Keterbatasan makin longgar lagi dalam melaksanakan perencanaan yang telah dibuat.

Hasil ini mendukung opini umum bahwa semakin strategis suatu aktivitas dalam perusahaan keluarga, maka otoritas yang diberikan kepada profesional nonkeluarga semakin rendah.

Mengusung profesionalisme dengan melibatkan profesional nonkeluarga tidak jarang juga menimbulkan beberapa isu kesenjangan profesional (professional gaps). Kesenjangan bisa muncul antara anggota keluarga dan profesional nonkeluarga itu sendiri.

Kesenjangan tipe ini cenderung sensitif jika dibiarkan melebar, tetapi bukan berarti anggota keluarga harus menyamai kemampuan teknis dari kalangan profesional. Anggota keluarga justru harus menyerap inti sarinya saja, rincian teknisnya serahkan kepada ahlinya, karena memang bukan wilayah anggota keluarga, terkecuali kalau memang minat utamanya di bidang itu.

Isu kesenjangan profesional juga bisa terjadi antargenerasi, misalkan antara generasi kedua dan generasi ketiga. Bagaimana pun duduk perkara yang menghasilkan isu kesenjangan itu, tetap saja harus dijembatani sehingga tidak menimbulkan masalah yang akan menghambat proses transformasi.

Batu sandungan lainnya adalah kebiasaan lama yang tak pernah mati (old habits never die). Terdapat kebiasaan yang sudah membudaya dan melekat, bukan hanya pendiri melainkan juga eksekutif yang bekerja sama dengan pendiri.

Kadang kala kebiasaan tersebut harus diubah, tetapi karena sudah melekat, kebiasaan itu susah untuk diubah. Isu utama ini terkait juga dengan resistensi untuk berubah.

Apalagi di sisi yang lain, pendiri atau pemilik perusahaan sering menjadi terlalu percaya diri dengan kemampuannya. "Oh, saya sudah bisa membangun bisnis selama 30 tahun dan berkembang baik, kenapa saya harus berubah, kenapa saya harus bertindak profesional?"

Kebiasaan sulit dipisahkan dari pelakunya, karena terkait dengan mindset. Tidak mudah memang mengharapkan orang lain untuk berubah, apalagi orang lain tersebut adalah pihak yang lebih senior. Yang dapat dilakukan secara bertahap adalah meyakinkan bahwa ada yang lebih baik dibandingkan dengan kebiasaan lama itu.

Penekanannya di sini adalah tidak mendahulukan untuk mencela kebiasaan lama sebagai hal yang buruk, tetapi mengajukan alternatif yang lebih baik. Hal ini secara psikologis gampang dimengerti. Jika penekanannya adalah mencela kebiasaan lama sebagai hal yang buruk, maka pihak yang melakukan kebiasaan tersebut akan merasa diserang dan sebagai reaksinya akan cenderung defensif. Padahal, orang yang berada pada posisi defensif, akan berpikir menang - kalah yang sudah keluar konteksnya dari maksud semula.

Bukan keluarga

Mengapa non-family management members masuk? Para profesional menyediakan sumber informasi, keahlian, dan pengalaman yang belum dimiliki oleh perusahaan keluarga. Mereka juga mendukung akuntabilitas dalam manajemen. Para profesional membantu mengevaluasi ide, strategi dan memberikan pandangan yang lebih objektif.

Namun, dengan masuknya mereka, ada kekhawatiran yang muncul menyangkut management control, yaitu adanya kemungkinan decreasing atau bahkan loosing power and control. Kekhawatiran ini sering menjadi penyebab keengganan sebagian dari pemilik atau pendiri perusahaan untuk melakukan pendelegasian. Kekhawatiran lain adalah kemungkinan terjadi konflik nilai antara para pemilik dan profesional. Konflik bisa terjadi kalau kita tidak mampu memadukan nilai-nilai dari kedua belah pihak.

Peran non-family members, terutama profesional, masuk terutama karena keahlian dan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh anggota keluarga. Jika kebetulan anggota keluarga mempunyai keahlian dan kompetensi yang sama dan cukup, dari sisi ini sebetulnya tenaga profesional tidak diperlukan lagi. Namun demikian, ada posisi yang tidak mungkin diisi semua oleh anggota keluarga dan diperlukan profesional dari luar.

Menyiapkan perusahaan keluarga bagi profesional tentu ada cara dan sistem komunikasinya. Keluarga sebaiknya menyadari dan mendukung bahwa posisi kunci harus ada yang diserahkan kepada orang lain yang lebih kompeten, dan menyiapkan resolusi konflik yang mungkin terjadi. Ini berarti, jika pendiri atau pemilik mengundang orang dari luar, maka harus diketahui terlebih dahulu kira-kira apa potensi konfliknya dan bagaimana menghadapinya.

Jika orang luar masuk dalam organisasi, apalagi dalam posisi kunci, tentu dia ingin mengetahui segala sesuatu dari semua lini bisnis itu. Di sinilah pentingnya transparansi budaya organisasi dalam hal ini. Jika tidak ada transparansi, dikhawatirkan profesional non-keluarga ini akan sekadar menjadi 'umpan' saja, duduk dan melakukan sesuatu tanpa mengetahui apa yang terjadi di dalam organisasinya.

Jika ada anggota keluarga yang tidak mendukung non-family members untuk menduduki posisi kunci akan timbul masalah. Sebaliknya, dibutuhkan fleksibilitas pihak profesional, sehingga tidak perlu memaksakan idealismenya dijalankan seratus persen ke dalam perusahaan seketika itu juga. Kedua belah pihak diharapkan dapat menunjukkan kemampuan untuk bekerja sama secara sinergis dan harmonis.

A. B. Susanto
Managing Partner The Jakarta Consulting Group

Tidak ada komentar: