Minggu, 03 Februari 2008

Inflasi tinggi cermin kegagalan kebijakan ad hoc

Ekonomi Makro
Senin, 04/02/2008
'Inflasi tinggi cermin kegagalan kebijakan ad hoc'
JAKARTA: Tingginya inflasi pada Januari mencerminkan kegagalan pemerintah mengantisipasi gejolak pangan dalam jangka panjang dan kesalahan kebijakan di sektor pertanian yang bersifat sementara.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (Indef) Aviliani menyatakan kontribusi terbesar inflasi Januari berasal dari bahan makanan dan BBM. Lonjakan harga sebenarnya dapat dikendalikan jika pemerintah memiliki skenario jangka panjang untuk mengatur produksi dan distribusi, terutama komoditas pangan.

"Ini cermin bahwa tidak ada antisipasi. Revitalisasi pertanian tidak jalan. Amerika sudah mengubah pangan jadi nabati. China menaikkan bea keluar perdagangan untuk mengamankan stok setelah menyadari cuaca yang tidak bersahabat," katanya saat dihubungi Bisnis, tadi malam.

Dia menyatakan selama ini sektor pertanian sebagai pemasok bahan pangan tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Subsidi tidak diberikan langsung kepada petani, melainkan kepada produsen pupuk atau hanya dinikmati oleh pedagang.

Di sisi lain, lanjutnya, hanya lahan sawit yang bertambah sementara area tanam bagi komoditas lain justru menyusut yang mengakibatkan produktivitas petani berkurang. "Seharusnya memang jauh-jauh hari diantisipasi. Ada kesalahan kebijakan. Pertanian kurang mendapat perhatian. Seharusnya bibit, pupuk dan tanah disediakan. Petani tinggal memanfaatkan."

Aviliani melanjutkan, karena inflasi yang tinggi pada Januari ini kecil kemungkinan bagi BI untuk menurunkan suku bunga. Pilihan ini diperkirakan akan dipilih oleh bank sentral karena untuk mengamankan pertumbuhan di sektor riil.

Jika otoritas moneter nekad menaikkan BI Rate, aliran dana keluar akan membesar dan akan menekan nilai tukar terhadap dolar AS. "Mau tidak mau [BI Rate] tidak akan naik, tetapi mungkin juga tidak diturunkan. Kondisi seperti saat ini memang berat. Bahkan, jika inflasi tetap di atas 1% pada Maret, [BI Rate] harus naik."

Gagal meredam

Ekonom Senior BNI Ryan Kiryanto mencontohkan bahan makanan menyumbang 2,77% terhadap inflasi tahunan dari biasanya di bawah 2%. Makanan memberikan kontribusi 2,02% sementara perumahan, air, listrik, dan bahan bakar justru relatif rendah hanya 1,8%.

"Kenaikan harga makanan yang menjadi penyebab lonjakan inflasi menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengendalikan kenaikan harga bahan makanan [terutama kedelai] melalui operasi pasar dan kebijakan restriktif lainnya [seperti pengenaan pajak ekspor atau domestic market obligation]," ujarnya.

Ryan menilai posisi inflasi Januari 2008 sebesar 1,77% (month-to-month) dan 7,36% (year-on-year) akan menyulitkan BI menurunkan tingkat suku bunga BI Rate yang kini berada di level 8%.

Dia menambahkan bank sentral tetap perlu memerhatikan expected inflation sebagai faktor utama selain pemangkasan bunga Fed Rate sebesar 125 basis poin dalam waktu singkat. "Dari pertimbangan faktor eksternal, maka ada ruang bagi BI menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%," katanya.

Kendati demikian, faktor banjir pada Februari berpotensi mengganggu distribusi barang dan bahan makanan sehingga dapat meningkatkan inflasi. (ahmad.muhibbuddin@bisnis.co.id/fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Oleh Fahmi Achmad & Ahmad Muhibbuddin
Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: