Minggu, 03 Februari 2008

Dampak Pajak final terhadap P3B (1)

Ekonomi Makro
Senin, 04/02/2008
Dampak pajak final terhadap P3B (1)
Pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha bersifat final merupakan cara pengenaan pajak yang mudah penatausahaannya dan menjamin penerimaan pajak.

Pengenaan pajak secara final berdampak terhadap rugi yang diderita perusahaan tidak dapat dikompensasi karena pengenaan pajak final pada dasarnya mirip dengan penentuan laba usaha dengan norma. Secara teori metode tersebut membuat ketentuan Pasal 6 dan 9 Un-dang-undang PPh menjadi tidak berarti, atau diabaikan.

Pengenaan pajak secara final ini, khususnya terhadap industri konstruksi, pernah diterapkan pada 1996, yang kemudian diubah kembali pada 2000.

Pengenaan pajak final pada masa tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 73/1996, yang diterapkan terhadap industri konstruksi dan jasa konsultan selain konsultan hukum dan konsultan pajak.

Peraturan tersebut menyebutkan bahwa perlakuan pajak tersebut berlaku bagi wajib pajak yang bergerak di bidang yang disebutkan di muka. Ini berarti bahwa pengenaan pajak final juga berlaku terhadap bentuk usaha tetap (BUT).

Pengenaan pajak final terhadap BUT menimbukan beberapa masalah baik jika BUT dimaksud adalah cabang perusahaan yang berdomisili di negara mitra P3B ataupun di negara yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia.

Pada minggu akhir Desember 2007 diberitakan perlakuan pajak terhadap industri konstruksi dan realestat akan diberlakukan pajak final.

Masalah yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dengan mengambil ketentuan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.73/1996 sebagai contoh.PP No. 73/1996

Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut di atas perusahaan yang bergerak di jasa konstruksi dikenakan PPh final sebesar 2%. Ini berarti laba kena pajaknya adalah 6,67% dari besarnya kontrak.

Seperti telah disinggung di atas ketentuan dalam PP No. 73/1996 menyebut bahwa yang dikenakan perlakuan pajak tersebut adalah wajib pajak di bidang usaha pelaksanaan konstruksi.

Jadi perlakuan tersebut juga mencakup BUT, sehingga dengan demikian timbul persoalan bagaimana menghitung laba setelah-pajak, sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (4). Berdasarkan angka persen tersebut di atas, maka laba-setelah pajak dari BUT dapat dihitung sebagai berikut, dengan mengambil contoh nilai kontrak adalah Rp10 miliar.

Nilai kontrak: Rp10 miliar

PPh Badan: 2% x Rp10 miliar = Rp200 juta Laba setelah pajak: Rp10 miliar - Rp200 juta = Rp 9,8 miliar.

Dengan demikian, laba-setelah pajak dari BUT tersebut (dengan asumsi bahwa BUT tersebut bukan berdomisili di negara P3B) adalah 20% dari Rp9,8 miliar = Rp1,96 miliar.

Namun demikian berdasarkan penegasan dari Dirjen Pajak No. S-25/PJ.43/2000 menegaskan penghitungan dari Pasal 26 ayat (4) adalah 20% dari jumlah penghasilan neto, berdasarkan laporan keuangan yang sudah dikoreksi fiskal dikurangi dengan PPh final.

Dengan demikian, wajib pajak harus memasukkan laporan keuangan untuk menghitung penghasilan neto dari proyek tersebut. Masalah akan timbul seandainya didalam laporan keuangan tersebut wajib pajak ternyata menderita rugi. Hal ini bisa terjadi pada proyek konstruksi yang memakan waktu lebih dari satu tahun. Kerugian tersebut dapat saja terjadi terutama untuk tahun pertama dari proyek tersebut.

Kerugian dimaksud tidak dapat dikompensasikan karena dengan penerapan pajak final dianggap tidak pernah terjadi kerugian.

Dari sudut pandang DJP dengan laporan keuangan yang menyatakan rugi maka tidak ada PPh Pasal 26 ayat (4) yang terutang. Jadi dengan penegasan dari Dirjen Pajak tersebut pelaksnaan dari aturan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No.73/1996 menjadi tidak konsisten.

Perlakuan ini kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No.140/2000 yaitu bahwa pengenaan pajak final atas jasa konstruksi hanya diberlakukan kontrak yang nilainya kurang dari Rp1 miliar.

Pada Desember 2007 terbetik berita tentang rencana perlakuan final ini akan diberlakukan kembali. Ada baiknya hal-hal yang dikemukakan di atas dijadikan pertimbangan untuk mencegah kerancuan dikemudian hari, seandainya penerapannya juga mencakup BUT.

Oleh Rachmanto Surahmat Tax Partner,
Purwantono,Sarwoko & Sandjaja Consult

Tidak ada komentar: