Kamis, 23 Agustus 2007

'Kambing hitam' di balik krisis subprime mortgage

Halaman Depan Kamis, 23/08/2007

Para regulator di AS sudah lama mencemaskan soal perkembangan hedge fund. Kevin Warsh pada 11 Juli 2007, memberi kesaksian tentang hedge fund di hadapan Komisi Pelayananan Finansial DPR AS.

Di satu pihak, dia meyakini bahwa peran hedge fund di dunia finansial sangat besar. Tetapi dia mengingatkan sembari menyitir hasil studi President's Working Group on Financial Markets (PWG) bahwa hegde berpotensi menimbulkan risiko finansial secara sistemik. Karena itu, diusulkan untuk lebih mengatur kegiatan para pengola hedge fund ini.

Setelah peristiwa LTCM pada 1998, dilakukan penelitian oleh PWG dan dipublikasikan pada April 1999 dengan judul Hedge Fund, Leverage and The Lessons of Long Term Capital Management.

Konklusinya jelas bahwa kejatuhan LTCM karena kreditor dan para pihak yang memberi kesempatan kepada pengelola hegde fund itu melakukan leverage (penggelembungan) secara berlebihan. Maka tidak ada cara lain, regulator harus segera menata ulang manajemen risiko dari kreditor yang mengucurkan dana kepada para hedge fund.

Bahkan dalam pertemuan G-8 di Skotlandia, efek buruk kehadiran hedge fund bagi pasar finansial dunia sudah dibahs secara serius. Mereka langsung menunjukkan perhatiannya pada transaksi hedge fund pada kontrak kredit derivatif yang secara global pada Juni 2004 mencapai US$4,5 triliun.

"Pertumbuhan CDS [clollateral debt securities] yang eksplosif dan kontrak kredit derivatif lainnya adalah perkembangan yang sangat menakjubkan dalam dunia finansial akhir-akhir ini," demikian kesimpulan dari pertemuan pemerintah negara-negara kaya itu.

Transaksi derivatif

Apa yang disebut dengan subprime mortgage merupakan bagian dari transaksi derivatif ini. Benihnya adalah 6 juta individu di Negeri Paman Sam yang meminjam 100% dari nilai rumah yang dibeli saat properti lagi booming. Bank investasi mengemas pinjaman itu dalam bentuk MBS (mortgage backed securities atau bonds backed by the pool of mortgages) yang merupakan bentuk utang yang dijamin (collaterized debt obligation/CDO).

Hedge fund juga meminjam lagi dana dari bank investasi itu dengan menggelembungkan nilai jaminannya. Selama harga rumah sebagai jaminan stabil, tidak masalah.

Bahaya akan tiba, saat harga rumah turun. Lembaga keuangan kemudian akan merevaluasi lagi jaminan. Kalau nilainya turun, para investor pun ramai-ramai menarik dana mereka.

Dalam krisis subprime mortgage sekarang, kerugian bisa mencapai US$50 miliar-US$100 miliar.

Tetapi, tidak akan lengkap kalau krisis ini tidak menyebutkan peran lembaga pemeringkatan. Makin kencang suara yang mengatakan bahwa kelalaian tiga lembaga rating besar-yaitu Moodys Investor Service, Standar & Poor's, dan Fitch Rating turut memberi andil dalam krisis kali ini.

Bahkan lembaga-lembaga rating ini dituduh ikut bermain, karena mereka meraup keuntungan luar biasa dari kegiatan pemeringkatan. Sejak melakukan kegiatan rating dari 2002 hingga 2006, Moodys Investor, misalnya, meraup untung hingga U$3 miliar.

Persoalannya, lembaga rating itu memberikan penilaian yang sangat tinggi dari transaksi subprime mortgage yang mencapai US$1,1 triliun. Dari transaksi yang sangat berisiko itu, yang mendapatkan peringkat tripple A (AAA) hampir mencapai 60%.

Dihitung bersama dengan transaksi yang dinilai AA dan A, hampir mencapai 80% transaksi. "Mereka bermain dengan memberi rating AAA," ujar Frank Partnoy dari Universitas San Diego.

Sejumlah pemimpin negara Eropa, seperti Kanselir Jerman Angela Merkel dan Komisi Eropa yang bermarkas di Brussels berjanji akan melakukan investigasi. Investigasi yang bermula dari pertanyaan, mengapa mereka memberi rating tinggi terhadap instrumen ini dan lamban merevisinya ketika mengetahui adanya risiko?

Praktik lembaga rating seperti ini mengingatkan kita pada hasil investigasi Gretcher Morgenson-jurnalis New York Times yang mendapat Pulitzer pada 2002-terhadap sebuah perusahaan rating, Egan-Jones Rating. Lembaga pemeringkatan itu ternyata terbukti menerima pungutan sebelum menjalankan tugasnya.

Apakah modus seperti itu juga terjadi pada lembaga-lembaga pemeringkatan lain?

Kita tunggu saja hasil investigasi Komisi Eropa. Kalau demikian, siapakah yang mestinya dipersalahkan dalam krisis ini?

Mari kita dengar pendapat Morgenson soal itu. "Wall Street bertanggung jawab. Investor pada tingkatan tertentu juga ikut bertanggung jawab. Mereka terpukau pada keuntungan. Regulator cuma tidur saja. Begitu juga lembaga rating. Mereka yang mengatakan kepada masyarakat, ini per-usahaan solid, ini utang baik atau tidak." (abraham.runga@bisnis.co. id)

Oleh Abraham Runga Mali
Wartawan Bisnis Indonesia

Tidak ada komentar: