Senin, 06 Agustus 2007

Gejolak pasar keuangan & implikasinya

Halaman Depan Senin, 06/08/2007


Performa pasar keuangan Indonesia dibayangi oleh potensi pengetatan likuiditas di Amerika Serikat. Namun, sumber likuiditas lain di dunia masih banyak. Gejolak terakhir tidak akan banyak berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi di sektor riil.

Semua biasanya kembali seperti sediakala. Sebut saja koreksi nilai indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta sebesar 8% pada Januari 2007, yang terjadi setelah Pemerintah Thailand memberlakukan kendali arus modal. Atau kejatuhan IHSG sebesar 6% pada Mei 2006, yang terjadi karena perubahan sentimen sementara.

Berbagai episode koreksi di pasar modal beberapa tahun belakangan ini biasanya tidak bertahan lama. Koreksi biasa-nya diawali oleh IHSG yang naik terlalu cepat, diikuti dengan meningkatnya sensitivitas pasar terhadap berita buruk. Pemicu koreksi itu bermacam-macam, tetapi tidak lama kemudian indeks harga saham selalu melesat lagi, bagaikan tidak pernah terjadi apa-apa.

Beberapa hari lalu, setelah mencapai rekor tertinggi 2.400, IHSG merosot hingga 5,5% dalam seminggu bersamaan dengan indeks harga saham di hampir semua di Asia dan Amerika Serikat. Di pasar obligasi pun, harga surat berharga negara (SBN) turun hingga 2%.

Apa beda koreksi saat ini dibandingkan dengan koreksi-koreksi sebelumnya? Koreksi kali ini memang terlihat disebabkan oleh faktor-faktor yang lebih struktural ketimbang sebelumnya.

Sebagaimana banyak diberitakan, koreksi terjadi menyusul kolaps pada pasar surat berharga hasil sekuritisasi kredit pemilikan rumah (KPR) di AS, yang dikenal dengan pasar mortgage backed securities (MBS). Hal ini diakibatkan oleh penurunan harga rumah secara meluas yang berujung pada tergerusnya nilai agunan KPR tersebut.

Median harga rumah di AS memang sudah jatuh sekitar 15% sejak posisi tertingginya tahun lalu. Posisi ini merupakan penurunan paling dramatis sejak tahun 1930-an.

Yang juga membedakan koreksi kali ini dengan yang sebelumnya adalah potensi efek berantai. Akibat hancurnya pasar MBS, sejumlah bank di AS dihadapkan pada peningkatan risiko gagal bayar pinjaman, terutama dari para hedge fund yang meminjam dana untuk dipakai membeli MBS tersebut.

Neraca perbankan AS pun kini dibayangi oleh prospek terbebani KPR yang tidak bisa dijual. Masalahnya bertambah runyam, karena sebagian nasabah KPR merupakan kreditur dengan kemampuan membayar yang rendah (subprime). Terlebih lagi, tingkat kredit macet untuk KPR di negeri Paman Sam itu dalam tren menanjak.

Tingkat penyitaan rumah dari KPR dengan suku bunga mengambang sudah mencapai 3%. Padahal, dua tahun lalu tingkat penyitaan itu masih di kisaran 1%.

Imbas regional

Kemampuan dan kemauan perbankan di AS untuk memberikan kredit memang bisa berpengaruh signifikan, bukan hanya terhadap ekonomi dan pasar keuangan negara itu, melainkan juga untuk pasar keuangan di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Kredit perbankan berperan penting bagi pembiayaan hedge fund dan perusahaan leveraged buyout. Kedua jenis perusahaan ini ikut berpartisipasi dalam kenaikan harga berbagai aset dan surat berharga di AS dan Asia selama beberapa tahun belakangan ini.

Berdasarkan satu studi yang dipublikasikan bank sentral Eropa pada akhir 2005, setengah dari hedge fund yang fokus di negara berkembang mempergunakan dana pinjaman, yang diperoleh dari perusahaan pialang dan perbankan. Indikasi kasar dari eksposur perbankan internasional terhadap hedge fund secara keseluruhan disebut-sebut melewati angka US$800 miliar pada 2004. Jumlah ini setara dengan 15 kali jumlah cadangan devisa Indonesia saat ini!

Dengan demikian, konsekuensi pengetatan likuiditas (liquidity crunch) di AS bisa terasa. Apalagi ditambah risiko rembetan ke bank-bank di negara lain yang juga mempunyai eksposur, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap MBS.

Seberapa besarkah pengaruh hedge fund di pasar keuangan Indonesia? Tidak ada yang mengetahuinya secara persis.

Namun, kita tetap tidak bisa memungkiri bahwa pemodal asing, termasuk hedge fund, telah berperan signifikan dalam mendorong kenaikan harga surat berharga domestik. Sebagai gambaran, di pasar obligasi saja, investor asing selama tahun ini merupakan pembeli terbesar SBN. Total pembelian neto pemodal asing di pasar SBN hampir tiga kali jumlah pembelian investor lokal!

Belum kiamat

Jadi, apakah ke depan pasar keuangan Indonesia akan stagnan? Saat ini, kelihatannya memang lebih sulit untuk berharap terjadi lagi kenaikan dramatis seperti beberapa tahun belakangan ini. Namun, pasar belum akan kehabisan peluru.

Satu tumpuan yang diharapkan bisa mengimbangi efek dari liquidity crunch di AS adalah likuiditas global sektor publik. Walaupun liquidity crunch benar-benar terjadi, likuiditas global tidak akan sepenuhnya mengering. Hal ini karena masih banyak dana dari cadangan devisa bank sentral negara-negara besar-seperti Cina, Jepang, dan negara-negara Arab pengekspor minyak-yang dialokasikan untuk investasi di pasar negara-negara berkembang.

Tidak ada yang mengetahui angkanya secara persis. Namun, dari sekitar US$5 triliun total cadangan devisa dunia, IMF Global Financial Stability Report 2007 mengestimasikan bahwa kekayaan negara yang dikelola secara agresif mencapai US$1,4 triliun! Jumlah ini masih terus naik secara cepat sejalan dengan surplus neraca perdagangan yang dialami masing-masing negara.

Apakah Indonesia masih akan tetap terlihat di layar radar para investor global? Jawabannya, ya.

Kondisi fundamental makroekonomi Indonesia tidak terpengaruh secara dramatis oleh ketidakstabilan pasar belakangan ini. Implikasinya tentu ada.

Depresiasi rupiah dalam kisaran 3%-5% sejak Mei 2007 mungkin bisa menaikkan harga barang-barang impor, namun tidak dalam kadar yang membahayakan. Begitu juga dengan kenaikan imbal hasil obligasi, pemerintah dihadapkan pada biaya utang yang lebih besar, tetapi dalam kisaran yang masih sangat wajar.

Bila dilihat dari sisi positifnya, berkurangnya keaktifan hedge fund ke depan malah mungkin bisa mengurangi volatilitas pasar dan mempermudah perencanaan pembiayaan sektor publik dan swasta. Koreksi yang lebih tajam lagi di masa mendatang, akibat gelembung harga instrumen keuangan, malah mungkin bisa terhindari.

Koreksi yang terjadi minggu lalu adalah konsekuensi dari terintegrasinya pasar keuangan dunia saat ini. Tidak banyak yang bisa kita perbuat, selain mengalokasikan investasi berdasarkan aspek-aspek fundamental dalam negeri, yang dalam hal ini tidak banyak berubah.

Namun, perkembangan tarik ulur kekuatan-kekuatan keuangan dunia ke depan akan menarik dan perlu dicermati.

Oleh Helmi Arman
Ekonom Bahana Securities

Tidak ada komentar: