Selasa, 30 Oktober 2007

PROSPEK SAHAM PROPERTI INDONESIA

Opini
Rabu, 31/10/2007
Prospek saham properti Indonesia
Perkembangan teknologi digital dan transportasi, peningkatan kemakmuran, dan liberalisasi ekonomi telah membawa dunia ke dalam era globalisasi dengan berbagai konsekuensinya.

Konsep uang dan batas negara menjadi sumir. Uang dapat berubah wujud dan berpindah tempat dalam sekejap (misalnya, dari uang tunai dalam rupiah berubah menjadi dolar AS dan saham Google di AS, kemudian menjadi dolar Singapura dan aset properti di Singapura).

Di satu sisi, fleksibilitas ini secara konseptual akan mempercepat bekerjanya mekanisme pasar untuk mengalokasikan sumber daya ke tempat yang paling memberikan nilai tambah lintas tempat dan waktu.

Di sisi lain, terjadi ekses berupa volatilitas yang terlalu berlebihan sehingga menyulitkan para pembuat kebijakan dan praktisi bisnis serta investor untuk merencanakan dan merancang masa depan ekonomi, bisnis, dan investasi. Buktinya terlihat jelas dalam beberapa bulan terakhir. Perekonomian dunia, khususnya di sektor finansial dan properti bergejolak luar biasa.

Krisis subprime mortgage/SPM (KPR peringkat rendah/risiko tinggi) di AS menyebabkan pasar finansial di seluruh dunia batuk-batuk. Pasar modal di Indonesia, yang kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pasar finansial dunia, juga terkena gelombang panasnya.

Setelah mencapai rekor tertinggi pada level 2401 pada minggu terakhir bulan Juli 2007, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok double digit persen dalam hitungan minggu (bandingkan dengan tingkat bunga deposito yang hanya sekitar 6% per tahun) pada Agustus 2007.

Optimisme kembali bangkit September dan awal Oktober 2007, sehingga IHSG kembali melampaui rekor tertinggi dan bahkan beberapa kali membuat rekor baru mendekati level 2700.

Namun, pesimisme kembali timbul saat menghadapi kenyataan besarnya kerugian yang dialami banyak institusi keuangan dunia plus harga minyak dunia yang menembus level US$ 90 / barrel. IHSG kembali rontok beberapa hari berturut-turut pasca liburan panjang Idulfitri, bahkan bisa anjlok lebih dari 4% dalam sehari (Senin, 22 Oktober 2007) sebelum kembali berbalik naik lebih dari 4% pada hari berikutnya.

Jadi, krisis SPM di AS memang berdampak besar terhadap volatilitas pasar modal di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan, apakah dampak tersebut nyata memengaruhi fundamental perusahaan atau hanya sekadar efek psikologis tularan.

Salah satu penyebab krisis SPM di AS adalah kenaikan suku bunga sejak beberapa tahun terakhir ke level di atas normal (relatif terhadap rata-rata jangka panjang) dan bertahannya suku bunga tinggi cukup lama.

Konsumen KPR berisiko tinggi yang menggunakan bunga mengambang (adjustable rate mortgage/ ARM) banyak yang mengalami kesulitan untuk membayar cicilan yang meningkat nilainya.

Fundamental tetap baik

Sementara itu, di Indonesia, situasinya justru terbalik. Sejak awal 2006, suku bunga di Indonesia justru menunjukkan tren menurun dan telah mencapai level relatif rendah (relatif terhadap rata-rata jangka panjang).

Suku bunga KPR di beberapa bank telah turun ke level di bawah 10% per tahun. Secara makro, peringkat risiko negara Indonesia menurut lembaga pemeringkat internasional juga baru saja dinaikkan (membaik), sehingga memungkinkan penurunan suku bunga lebih lanjut.

Penurunan suku bunga ini sangat penting khususnya bagi pasar properti kelas menengah ke bawah yang sangat tergantung pada KPR. Secara umum, produk domestik bruto per kapita Indonesia diramalkan akan menembus angka psikologis US$ 2.000 dalam 1-2 tahun ke depan.

Untuk segmen menengah ke atas, berdasarkan riset yang dipublikasikan belum lama ini oleh sebuah lembaga keuangan internasional, jumlah orang kaya (high networth individual dengan dana investasi di atas US$ 1 juta) di Indonesia meningkat cepat. Jadi, potensi permintaan properti di Indonesia masih cukup besar.

Saat ini terdapat 33 perusahaan dalam sektor properti dan realestat yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sejak pertengahan 2006, indeks saham sektor properti di BEJ meningkat lebih cepat dibandingkan dengan indeks pasar secara keseluruhan (IHSG).

Momentum baik ini diharapkan akan tetap berlanjut seiring membaiknya daya beli dan indikator ekonomi makro seperti inflasi, cadangan devisa, tingkat pengangguran, dan lainnya.

Tentu tidak semua saham di sektor properti memiliki prospek baik. Tidak seperti sektor perbankan yang telah menyelesaikan restrukturisasi pascakrisis 1998, sektor properti belum tuntas menjalankan restrukturisasi.

Masih ada beberapa grup perusahaan properti yang terhambat beban lama akibat krisis. Sebaliknya, bagi beberapa grup perusahaan properti yang telah terbebas dari krisis, inilah saatnya untuk berekspansi lebih lanjut.

Grup perusahaan properti yang berhasil mengelola struktur permodalannya dengan baiklah yang akan mendulang manfaat besar dari potensi sektor properti di masa depan. Meraih dana lewat IPO saham merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan oleh perusahaan properti untuk mengoptimalkan struktur permodalannya dan menurunkan risiko finansial dalam jangka panjang.

Selain itu, untuk memanfaatkan properti yang telah ada, perusahaan properti juga bisa menerbitkan real estate investment trusts (REITs). Memang sudah ada beberapa perusahaan properti terkemuka yang telah memulai upaya ke arah REITs.

Sayang sekali, alternatif ini belum bisa dilakukan di Indonesia. Produk inovatif seperti REITs, exchange traded funds (ETF), efek beragun aset (EBA) tampaknya masih harus menyingkirkan banyak kendala sebelum bisa menjadi kenyataan di pasar finansial Indonesia.

Ada satu kabar baik bagi prospek saham perusahaan sektor properti di Indonesia dan para (calon) investornya. Harga lahan di pusat kota (CBD) di Jakarta, sekitar US$ 1600 per m2, masih relatif jauh lebih murah dibanding dengan harga lahan di negara tetangga misalnya Filipina.

Investor dari Arab Saudi belum lama ini membeli lebih dari tujuh hektare lahan di CBD di Manila seharga sekitar US$ 5.000 per m2. Jadi, potensi peningkatan harga lahan yang dimiliki perusahaan properti di Indonesia, masih sangat besar.

Kunci keberhasilan berikutnya yang juga penting memengaruhi prospek saham properti adalah intangible asset (aset nirwujud), berupa brand (merek) dan inovasi konsep.

Di era ekonomi baru yang dicirikan dengan meningkatnya porsi nilai intangibles dalam total nilai saham, penguasaan lahan dan lokasi baik saja tidaklah cukup. Pengembang yang visionaris bukanlah sekadar membangun rumah atau gedung, melainkan menciptakan suasana, gaya hidup, dan nuansa kehidupan.

Oleh Roy Sembel
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Multimedia Nusantara

Kamis, 18 Oktober 2007

Imbal hasil reksa dana saham bakal tembus 50%

Halaman Depan Kamis, 18/10/2007

Imbal hasil reksa dana saham bakal tembus 50%

JAKARTA: Imbal hasil (return) reksa dana saham akhir tahun ini diperkirakan mencapai 50%, menyusul ekspektasi penurunan suku bunga The Fed yang akan melambungkan harga saham di bursa Jakarta dan regional.

Proyeksi return itu sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan imbal hasil akhir tahun lalu, sebesar 44,7% dari 28 produk reksa dana saham.

Analis reksa dana PT Infovesta Utama Rudiyanto mengatakan indikasi lonjakan pertumbuhan return itu terlihat dari data reksa dana saham tahun berjalan (year to date) per 11 Oktober, yang diikuti oleh peningkatan nilai aktiva bersih (NAB)-nya.

Sehari sebelum Idulfitri, seluruh produk reksa dana saham membukukan return rata-rata 37,95%, sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta tumbuh 46,12%.

"Dengan kondisi pasar saham yang cenderung bullish seperti sekarang, return reksa dana saham bisa melampaui perolehan tahun lalu. Masih ada potensi pertumbuhan imbal hasil 45%-50% pada akhir 2007," tuturnya kepada Bisnis, kemarin.

Dalam tiga bulan terakhir ini, menurut Rudiyanto, investor melihat peluang tersebut dengan menggelontorkan lebih banyak investasi ke reksa dana saham, sehingga NAB reksa dana saham terdongkrak mendekati NAB reksa dana pendapatan tetap (fixed income).

Pada Oktober, NAB reksa dana saham berada di posisi Rp25,3 triliun. Angka ini mendekati NAB reksa dana pendapatan tetap yang mencapai Rp25,7 triliun.

Padahal, tiga bulan lalu NAB reksa dana saham masih Rp19 triliun (25,6% dari NAB industri reksa dana). Angka ini berada jauh di belakang aset reksa dana fixed income yang mencapai Rp27 triliun (37% dari total industri).

Pertumbuhan dana kelolaan reksa dana saham 2007 (Rp triliun)

Reksa dana pendapatan tetap

Reksa dana saham

31 Jun.

27,16

13,88

31 Jul.

27,02

18,82

31 Agt.

23,63

21,37

30 Sep.

23,74

24,18

08 Okt.

25,71

25,3

10 reksa dana saham dengan return terbesar

Produk

NAB/unit

Return setahun (%)

Makinta Mantap

4.438,1

154,3

Fortis Ekuitas

9.536,7

97,9

Pratama Saham

2.353,4

89

Dana Ekuitas Prima

2.393,8

78,6

Schroeder Dana Istimewa

2.859,3

75,5

Trim Kapital

4.894,9

75,4

Mandiri Investa Atraktif

2.927,9

74,9

Bahana Dana Prima

8.481,2

72,4

Manulife Dana Saham

6.434,6

72

Schroeder Dana Prestasi Plus

12.733,7

70,6

Sumber: Infovesta Utama

NAB reksa dana saham per September bahkan sempat menyentuh Rp24,2 triliun, melampaui NAB reksa dana fixed income yang berada di posisi Rp23,7 triliun. Itu merupakan rekor pertama dana kelolaan reksa dana berbasis saham melampaui nilai kelolaan reksa dana berbasis obligasi (surat utang).

"Jika kondisi pasar sesuai ekspektasi, saya perkirakan dana kelolaan reksa dana saham naik terus, karena kondisi sedang bagus. Suku bunga The Fed bulan depan diprediksi turun lagi," ujar Rudiyanto.

Apalagi, lanjutnya, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mengeluarkan daftar efek syariah sebanyak 169 saham syariah yang diharapkan menambah instrumen efek sebagai portofolio investasi reksa dana saham syariah.

Dengan makin banyaknya efek syariah, instrumen investasi sebagai underlying asset produk ini pun kian beragam dan bisa menyerap lebih banyak dana investasi masyarakat.

Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) selama ini mengeluhkan minimnya instrumen investasi syariah yang menyebabkan dana kelolaan reksa dana syariah tidak bisa tumbuh mengejar kelolaan reksa dana konvensional.

"Dana kelolaan reksa dana syariah secara keseluruhan baru 1% dari total nilai aktiva bersih atau Rp800 miliar dari total kelolaan reksa dana Rp76 triliun," tutur Ketua APRDI Abiprayadi Rianto, belum lama ini.

Data pemodal

Pada perkembangan lain, Kepala Biro Pengelolaan Investasi Bapepam-LK Djoko Hendratto mendukung upaya APRDI yang hendak menyusun data pemodal reksa dana lebih rinci guna mengetahui jumlah pasti investor.

Dalam waktu dekat, Djoko mengadakan koordinasi dengan APRDI menyangkut penyusunan data tersebut. "Kami belum mempunyai data pemodal reksa dana secara spesifik. Kalau memang APRDI mau membikin itu, ya bagus. Saya akan kontak mereka."

Djoko mengakui sejauh ini dia belum memiliki data rinci mengenai investor reksa dana. Yang dimiliki Bapepam-LK baru sebatas data investor umum, seperti dilaporkan pelaku industri. (arif.gunawan@bisnis.co.id)

Oleh Arif Gunawan S.
Bisnis Indonesia

लोंजकन हर्गा मिन्यक MENCEMASKAN

Halaman Depan Kamis, 18/10/2007

Lonjakan harga minyak mencemaskan

JAKARTA: Kenaikan harga minyak dunia hingga level US$88 per barel dikhawatirkan mengganggu perekonomian global. Sementara itu, negara-negara pengekspor minyak mentah yang tergabung dalam OPEC kembali menimbang untuk menaikkan produksi minyak para anggotanya demi meredam harga.

Pada awal perdagangan di bursa New York Mercantile Exchange (Nymex) kemarin harga minyak sempat menyentuh US$88,20 per barel yang kemudian ditutup pada level US$87,23 per barel.

"Kenaikan harga minyak hingga di atas US$80 per barel akan mengancam perekonomian dunia," ujar Maizar Rahman, Gubernur Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) untuk Indonesia, kepada Bisnis kemarin.

Untuk itu, menurut dia, OPEC terus memantau perkembangan harga minyak mentah dunia. "Jika harga terus melonjak, OPEC akan menimbang untuk kembali menaikkan produksi."

Dalam pertemuan OPEC di Austria pada pertengahan September 2007, organisasi tersebut memutuskan untuk menambah produksinya sebanyak 500.000 barel per hari (bph) menjadi 31,1 juta bph.

Komitmen menaikkan produksi ke-12 anggotanya, termasuk Indonesia, berlaku efektif pada 1 November 2007.

Maizar mengatakan setelah peningkatan produksi berlangsung, harga minyak mampu teredam, dengan catatan faktor non fundamental seperti ketegangan politik antara Turki dan Irak selesai.

Faktor nonfundamental minyak seperti ketegangan politik di Turki-Irak, dan spekulasi di pasar berjangka akibat pelemahan dolar AS, menurut Maizar, menambah harga minyak sebesar US$15-US$20 per barel. Sementara itu, secara fundamental harga minyak seharusnya berada di kisaran US$60-US$70 per barel. Pada perdagangan sore kemarin harga minyak turun tipis menjadi US$87,23 per barel.

Reaksi bursa

Sebagai reaksi atas kenaikan harga minyak, saham-saham di bursa Wall Street New York mencatat penurunan tajam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup turun 71,86 poin (0,51%) ke level 13.912,94. Pelemahan Wall Street tersebut langsung diikuti oleh hampir seluruh bursa regional.

Dari 20 indeks saham di Asia, hanya lima yang menunjukkan peningkatan salah satunya indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup turun 1,07% atau 182,61 poin menjadi 16.955.

Kenaikan indeks BEJ yang mencetak rekor tertinggi baru, terdorong oleh kenaikan harga saham sektor pertambangan dan harga minyak.

Pada perdagangan kemarin, indeks ditutup menembus rekor tertinggi untuk ketujuh kali berturut-turut sejak 4 Oktober, di posisi 2.641,59 setelah naik tipis 3,38 poin atau 0,13%.

Kenaikan indeks banyak dimotori oleh saham sektor pertambangan. Sebanyak enam dari 10 saham pencetak kenaikan terbesar berasal dari sektor eksplorasi sumber daya alam ini. Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menduduki peringkat pertama peraih keuntungan terbesar setelah harganya naik Rp250 menjadi Rp4.675, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) naik Rp270 menjadi Rp1.460, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) naik Rp300 menjadi Rp3.425.

Sementara itu, kurs rupiah kemarin melemah bahkan sempat tembus ke level Rp9.138 per dolar AS atau turun 0,9%, penurunan terbesarnya dalam dua bulan terakhir, dipicu kekhawatiran pasar akan pelemahan perekonomian AS setelah sektor perumahannya turun yang akan mengancam aset di negara-negara pasar berkembang. (berliana.eli sabeth@bisnis.co.id/pudji.lestari@bisnis.co.id)

Oleh Berliana Elisabeth S. & Pudji Lestari
Bisnis Indonesia

Rabu, 10 Oktober 2007

Ekonomi Makro
The Fed yakin ekonomi AS masih akan tumbuh
WASHINGTON: Federal Reserve mengisyaratkan tidak akan terburu-buru menurunkan kembali suku bunga dalam waktu dekat karena yakin ekonomi Amerika Serikat masih akan tumbuh.

Rekaman pertemuan Komite Pasar Terbuka the Fed yang diperlihatkan kemarin memperlihatkan pejabat the Fed menghindar untuk menggambarkan gerakan selanjutnya setelah memangkas tingkat suku bunga pada 18 September lalu.

Pasalnya, pejabat the Fed tidak ingin para investor menyimpulkan bahwa bank sentral AS itu menggaransi adanya pemangkasan ekstra.

The Fed menyimpulkan penurunan tingkat suku bunga beberapa waktu lalu hingga setengah poin menjadi 4,75% merupakan tindakan terbaik. Penurunan ini lebih besar dua kali lipat dari yang diprediksikan para ekonom.

Imbal hasil pada dana kontrak masa depan pemerintah federal menunjukkan 64% kemungkinan bahwa the Fed tidak akan menurunkan lagi tingkat bunga pada pertemuan the Fed selanjutnya (30-31 Oktober 2007).

"Aksi selanjutnya tergantung bagaimana perkembangan pasar dan faktor lainnya berdampak pada prospek ekonomi," ungkap the Fed.

Industri jasa

Laporan ekonomi telah membenarkan peringatannya yakni sektor manufaktur dan industri jasa terus mengalami pertumbuhan pada bulan lalu, sementara lapangan kerja juga meningkat.

Bahkan, Dow Jones Industrial Average mencapai rekor pertumbuhan 3% sejak adanya pertemuan tersebut.

"Saya tidak berpikiran jika the Fed akan bergerak lagi pada Oktober [menurunkan kembali suku bunga], tapi saya benar-benar tidak berpikir bahwa mereka telah merumuskannya," ujar Lou Crandall, ekonom kepala pada Wrightson ICAP LLC, Jersey City, New Jersey.Crandall berpendapat the Fed seharusnya menurunkan lagi suku bunga. Saat ini, kata dia, data ekonomi yang ada [indikasi pertumbuhan ekonomi] tidak berdampak banyak pada perbaikan ekonomi.

Ekonom the Fed memangkas perkiraan pertumbuhan pada kuartal IV/2007. Namun, menghentikan prediksi terjadinya resesi.

Dua presiden the Fed yakni Presiden San Fransisco Janet Yellen dan Presiden St.Louis William Poole, mengatakan ketegangan likuiditas secara bertahap telah diatasi, kendati kondisi bisnis di pasar belum kembali seperti sediakala.

"Pasar keuangan secara bertahap telah mulai stabil, namun belum kembali pada kondisi normal dan masih sangat rentan," kata Poole.

Sementara itu, jarak suku bunga pinjaman antara hipotek suku bunga tetap selama 30 tahun senilai US$417.000 atau lebih dan pinjaman besar selama 30 tahun lebih dari US$417.000, turun 78 basis poin pada minggu pertama Oktober. Pada bulan sebelumnya, suku bunga turun 98 basis poin.

Lebih lanjut, pejabat the Fed menunjukkan perhatian terhadap inflasi, menyusul naiknya biaya buruh dan melemahnya dolar. Nilai mata uang dollar turun hingga rekor terendah yakni US$1,4283 per euro pada 1 Oktober lalu.

Kondisi lapangan pekerjaan Amerika Serikat pada September yang mengalami percepatan membuat perhatian akan ketakutan terjadinya resesi berkurang dan memperkecil kemungkinan the Fed untuk menurunkan kembali suku bunganya.

Departemen Tenaga Kerja di Washington mengungkapkan daftar gaji pada September naik menjadi 110.000. Pada bulan sebelumnya (Agustus) daftar gaji ini juga mengalami kenaikan menjadi 89.000. (03)

Bloomberg

पेमोदल हरुस ubah होरिजों इन्वेस्तासी, इंडेक्स देकती लेवल २.600

Halaman Depan
Kamis, 11/10/2007

Pemodal harus ubah horizon investasi
Indeks dekati level 2.600

JAKARTA: Indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta kembali menanjak, yang diperkirakan berlanjut dalam 6-12 bulan ke depan hingga mengantarkannya ke level 2.900.

IHSG kemarin ditutup naik 44,88 poin atau 1,76% ke level 2.591,48. Indeks terus naik menembus rekor tertinggi baru dalam lima hari berturut-turut sejak Kamis pekan lalu.

Kenaikan indeks didorong oleh saham Grup Astra, yakni PT Astra International Tbk (ASII), PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), dan PT United Tractors Tbk (UNTR).

Saham ASII ditutup di level Rp22.200 setelah naik Rp950, AALI naik Rp800 jadi Rp18.950, dan UNTR naik Rp650 menjadi Rp9.850. Di samping itu, saham PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO) naik Rp6.000 menjadi Rp75.000, dan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) naik Rp350 menjadi Rp7.200.

Di saat yang sama, indeks regional mencatatkan kenaikan dengan besaran yang beragam mulai dari 0,10% seperti dibukukan Nikkei 225 di Jepang, hingga lebih dari 1% seperti Hang Seng di Hong Kong (1,21%), Kospi Korsel (1,34%), dan Sensex India (2,07%).

Indeks Taiex Taiwan, Straits Times Singapura, dan Shenzen China bergerak berlawanan arah dengan membukukan penurunan masing-masing 0,80%, 0,42%, dan 0,48%.

Bergerak naik

Indeks Wall Street di AS, yang lazim digunakan sebagai acuan, bergerak naik. Pada penutupan perdagangan Selasa, indeks Dow Jones Industrial Average menguat 0,86% atau 120,80 poin ke 14.164,53. Indeks S&P 500 meningkat 0,81%, dan Nasdaq naik 0,59%.

Analis Sinarmas Sekuritas Samuel Sudeswanto Yeung menilai sentimen positif masih berlanjut sampai beberapa pekan ke depan. Menurut dia, pemodal harus mengubah horizon investasinya menjadi jangka menengah ketimbang jangka pendek harian, karena risikonya lebih besar.

"Penguatan akan berlanjut dalam 6-12 bulan ke depan hingga indeks menembus level 2.900. Kenaikan ditopang oleh laporan keuangan emiten triwulan ketiga yang diperkirakan lebih baik," tuturnya, kemarin.

Samuel belum melihat indikasi negatif yang menunjukkan pasar bergerak berlawanan arah. Selain sentimen individu emiten, faktor fundamental makroekonomi bagus. Inflasi Oktober meski cenderung tinggi, September relatif terkendali, dan suku bunga masih menarik.

Faktor eksternal, kata Sudeswanto, yakni pasar AS juga menunjukkan pola bullish, di mana indeks Dow Jones berpeluang menembus level 15.000. Peluang tetap terbuka, meski Federal Reserve menyatakan tidak akan terburu-buru memangkas suku bunga lagi. Hal ini karena mereka yakin perekonomian AS masih tumbuh.

Dengan pernyataan itu pelaku pasar yakin The Fed bakal menahan bunganya di 4,75% dalam rapat yang dijadwalkan akhir bulan ini.

"Saham pertambangan, metal, dan pertanian menjadi pilihan investor di saat permintaan komoditas menguat. Permintaan juga didorong oleh harga minyak yang tinggi, sehingga mendorong orang mencari pengganti," kata Andreas Yasakasih, PT Ciptadana Asset Management, seperti dikutip Bloomberg.

Rupiah melemah

Kurs rupiah bergerak berlawanan dengan indeks saham. Rupiah kemarin kembali melemah terhadap dolar AS, meski indeks terus meningkat dan mata uang sejumlah negara menguat drastis terhadap dolar AS.

"Jika melihat pergerakan indeks harga saham, kurs rupiah seharusnya mampu tembus level Rp8.700-an per dolar AS. Tetapi kenyataannya kurs bergerak anomali. Aneh memang," kata Direktur Currency Management Group Farial Anwar kepada Bisnis, kemarin.

Pada perdagangan kemarin, kurs bertengger di level Rp9.083 per dolar AS atau melemah tipis dari sebelumnya Rp9.077. Namun, kurs menunjukkan penguatannya sebulan terakhir sebesar 3,6%.

Terdepresiasinya rupiah ini, menurut Farial, dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku pasar bahwa Bank Indonesia tidak akan melepas kurs di bawah Rp9.000 per dolar AS.

Pelaku pasar akan langsung bereaksi ketika rupiah mencapai level Rp9.050 per dolar AS. Hal ini, lanjut Farial, dipengaruhi oleh pernyataan pejabat BI bahwa level aman rupiah saat ini, yakni Rp9.000-an per dolar AS. "Tampaknya tidak akan terlihat kurs mencapai level di bawah Rp9.000, setidaknya hingga akhir tahun ini." (berliana. elisabeth@bisnis.co.id/pudji.lestari@bisnis.co.id)

Oleh Berliana Elisabeth S. & Pudji Lestari
Bisnis Indonesia